Muktamar Muhammadiyah 1932: Jejak Buya Hamka di Makassar

Tribun-Timur, Jumat, 7 Agustus 2015 20:24

Muktamar Ke-47 Muhammadiyah berlangsung di Kota Makassar, 3-8 Agustus 2015. Pertemuan organisasi Muhammadiyah secara nasional yang dihadiri kurang lebih 300.000 kader dan penggembira ini yang ketiga kalinya digelar di Makassar. Dua Muktamar sebelumnya dilaksanakan pada 1971 (Muktamar Ke-38 Muhammadiyah) dan 1932 (Kongres Ke-21 Muhammadiyah).

Kongres tahun 1932 (waktu itu belum disebut “muktamar”) menjadi momentum yang penting bagi perkembangan organisasi pembaharuan (tajdid) ini di Sulawesi Selatan. Apalagi melihat kenyataan bahwa ketika itu Indonesia belum merdeka dan masih di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu, masa ini adalah masa yang penting dimana berbagai organisasi pergerakan tumbuh dengan pesat di seluruh wilayah Hindia Belanda. Di tahun 1932 inilah, Pimpinan Muhammadiyah Cabang Makassar kedatangan seorang ulama muda dari Sumatera Barat bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang kelak lebih dikenal sebagai Hamka.

Kongres 1932
Hamka dikirim ke Makassar pada 1932 atas permintaan Pimpinan Muhammadiyah Cabang Makassar. Hamka punya tugas khusus, membangkitkan semangat rakyat dalam rangka menghadapi Kongres Muhammadiyah ke-21 yang akan digelar di Makassar.

Menurut Dr Mustari Bosra (2008), setiap hari tidak kurang dari 5000 orang yang menonton dari luar arena kongres, menandakan antusias masyarakat untuk mengenal lebih dekat organisasi ini. Total sebanyak 4 cabang dan 39 grup terbentuk setahun setelah kongres ini, dimana sebelumnya hanya ada 2 cabang dan 15 grup. Jumlah sekolah dan masjid pun mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Pimpinan Muhammadiyah Cabang Makassar pun memanfaatkan kehadiran ulama muda cemerlang ini. Setelah Kongres terlaksana, kemudian didirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Muallimin di Makassar, dan dua tahun kemudian (1934) didirikan MTs di Majene. Untuk sekolah MTs di Makassar, Hamka sendiri bertindak sebagai kepala sekolahnya yang pertama. Menurut laporan Konsul Muhammadiyah Sulawesi pada Konferensi ke-16 tahun 1941 di Sengkang, Muhammadiyah Sulawesi Selatan memiliki 6 cabang dan 76 grup berisi 7000 orang, kurang lebih 30.000 orang simpatisan, masjid dan mushalla 41 buah, Sekolah Diniyah (setingkat sekolah dasar/SD) sebanyak 52 buah, Sekolah HIS sebanyak 4 buah, guru sebanyak 79 orang dan murid kurang lebih 5000 orang.

Legasi Kongres
Kongres Muhammadiyah ke-21 ini menjadi penting karena beberapa hal. Pertama, Pemuda Muhammadiyah sebagai organisasi otonom kalangan pemuda didirikan. Gerakan ini sebenarnya berasal dari gerakan pemuda terpelajar Siswo Proyo Priyo (SPP) yang berkembang pesat dan kemudian diputuskan oleh Kongres Muhammadiyah ke-21 menjadi organisasi Pemuda Muhammadiyah. Kedua, pada tahun ini Muhammadiyah memutuskan menerbitkan dagblaad atau surat kabar, dimana pengelolaannya dimandatkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di kemudian hari dinamakan Adil . Ketiga, kongres ini adalah kongres terakhir dimana KH Ibrahim menjadi Ketua Umum. Sebelumnya KH Ibrahim memimpin Muhammadiyah dan terpilih sebagai Ketua Umum sepuluh kali berturut-turut (1923-1932) dalam Kongres yang waktu itu berlangsung setiap tahun.

Novel-Majalah
Ketika kita membaca bab pertama dari novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (TKVDW) karya Hamka dan menyimak bagaimana tragedi cinta Zainuddin dan Hayati, maka kita akan mafhum bahwa semua pengetahuan Hamka tentang tempat, nama dan tradisi Makassar didapatkannya selama masa beliau di Makassar, meskipun nantinya novel ini diterbitkan pada 1938.

Selain novel TKVDW, selama di Makassar beliau juga menerbitkan novel terjemahan berjudul Laila dan Majnun, kisah cinta klasik karya sastrawan besar Persia: Nizami Ganjavi. Novel ini diterbitkan oleh penerbit Balai Poestaka milik pemerintah. Tidak hanya novel, Hamka juga mendirikan dua majalah selama di Makassar, yaitu Majalah Tentera, 4 edisi, dan Majalah Al Mahdi, 9 edisi. Di tahun ini juga Hamka juga menerbitkan sebuah buku berjudul Arkanul Islam.
Konflik

Jejak Hamka di Makassar tidak sampai di situ. Selama berada di Makassar (1932-1934), Hamka juga terlibat konflik dan pertentangan melalui media. Ceritanya dimulai pada 1927, ketika Partai Sarekat Islam (PSI) mengeluarkan semua anggota Muhammadiyah dari partai itu. Tahun itu menandai konflik berkepanjangan antara PSI dan Muhammadiyah. Di Sulawesi Selatan, konflik ini diwakili oleh koran Al-Wafd milik Sarekat Islam dan koran Tentara Islam milik Muhammadiyah yang dipimpin Mansur Al Yamani, orang yang disebut-sebut sebagai penganjur Muhammadiyah pertama di Sulawesi Selatan.

Melalui Al-Wafd, H.A. Mawangkang mengkritik Muhammadiyah yang mengambil jalan kooperatif dengan Belanda, dan menerima subsidi dari Pemerintah kolonial yang ‘kafir’. Hamka kemudian membalasnya melalui koran Tentara Islam dengan mengkritik Yusuf Sammah dan anggota PSI lainnya yang “hanya bisa berkoar” dan “tidak menunjukkan karya nyata”. Hamka juga mengkritik adanya lembaga pengacaa dalam PSII yang -kata Hamka- hanya mementingkan uang dan “hanya mau bekerja jika dibayar oleh yang berperkara”.

Konflik ini berlangsung sampai mengenai hal-hal yang rinci. Tentara Islam mengkritik Al-Wafd yang setelah dipimpin oleh Yusuf Sammah memuat iklan yang dinilai “sangat menjijikkan” dan bersifat pornografi. Kritikan Tentara Islam lainnya adalah persoalan shalat wajib lima waktu yang mulai dianggap sepele oleh pemimpin dan anggota PSI.

Epilog
Muktamar Muhammadiyah ke-47 yang berlangsung di Makassar sebentar lagi akan berakhir dan alhamdulillah berjalan dengan aman dan tertib. Perkembangan Muhammadiyah yang sedemikian pesatnya seperti yang terlihat di Sulawesi Selatan hari ini merupakan kerja keras satu abad dari para pendiri, pendakwah, kader dan juga simpatisan Muhammadiyah. Termasuk di dalamnya Buya Hamka yang ketika melaksanakan tugas dakwah di Makassar masih berusia sangat muda, 24 tahun. Semoga dari Muktamar Muhammadiyah ke-47 akan lahir pula generasi baru yang akan secemerlang Buya Hamka: seorang ulama, sastrawan, ahli filsafat dan penulis yang dikenang dalam sejarah republik ini.(*)

Oleh:
Muh Ihsan Harahap
Mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

http://makassar.tribunnews.com/2015/08/07/muktamar-muhammadiyah-1932-jejak-buya-hamka-di-makassar

Komentar

Visitor

Online

Related Post