Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus 16, 2015

Sunni-Shia dialogue: What’s feasible

Muhamad Ali, California | Opinion | Fri, August 21 2015, 6:50 AM One of the strategic issues raised at the recent 47th congress (muktamar)of the nation’s largest modernist Islamic organization, Muhammadiyah, was the enhancement of Sunni-Shia dialogue. The Sunni-Shia crisis is almost as old as Islam itself, occurring right after the death of Prophet Muhammad. The conflict continues to resurface in parts of the Middle East and even in Sampang, Madura in East Java from 2011 onward, albeit on a much smaller and local scale. These tensions, both abroad and at home, have led Muhammadiyah leaders, scholars and activists to address the issue by advocating “internal” dialogues. According to scholars on Islam such as Robin Bush and Budhy-Munawar Rachman, the official positions of Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama(NU) toward the Sunni-Shia tension are generally “conservative”. But the same findings also reveal diverse opinions within the leadership and membership of these two largest Islamic organ

Muktamar Muhammadiyah 1932: Jejak Buya Hamka di Makassar

Tribun-Timur, Jumat, 7 Agustus 2015 20:24 Muktamar Ke-47 Muhammadiyah berlangsung di Kota Makassar, 3-8 Agustus 2015. Pertemuan organisasi Muhammadiyah secara nasional yang dihadiri kurang lebih 300.000 kader dan penggembira ini yang ketiga kalinya digelar di Makassar. Dua Muktamar sebelumnya dilaksanakan pada 1971 (Muktamar Ke-38 Muhammadiyah) dan 1932 (Kongres Ke-21 Muhammadiyah). Kongres tahun 1932 (waktu itu belum disebut “muktamar”) menjadi momentum yang penting bagi perkembangan organisasi pembaharuan (tajdid) ini di Sulawesi Selatan. Apalagi melihat kenyataan bahwa ketika itu Indonesia belum merdeka dan masih di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu, masa ini adalah masa yang penting dimana berbagai organisasi pergerakan tumbuh dengan pesat di seluruh wilayah Hindia Belanda. Di tahun 1932 inilah, Pimpinan Muhammadiyah Cabang Makassar kedatangan seorang ulama muda dari Sumatera Barat bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang kelak lebih dikenal sebagai Hamka. Kongres

Warisan Din Syamsuddin untuk Muhammadiyah

Gambar
Koran Sindo, 21 Agustus 2015 Oleh Ahmad Najib Burhani* Din Syamsuddin telah usai menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah setelah memimpin organisasi Islam modernis terbesar itu selama dua periode 2005-2010 dan 2010-2015. Meski sesuai dengan AD/ART (Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga) ia masih bisa dipilih lagi menjadi salah satu pimpinan kolektif-kolegial Muhammadiyah yang terdiri dari 13 orang, namun ia memutuskan untuk tidak mengembalikan formulir kesediaan untuk dipilih lagi sebagai upaya kaderisasi sehingga muncul pimpinan baru. Seperti yang beberapa kali disampaikannya, ia memilih untuk menjadi ketua Muhammadiyah ranting Ragunan, daerah tempat ia tinggal saat ini. Karena Din Syamsuddin tidak lagi menjadi pimpinan Muhammadiyah, maka barangkali ini saat yang tepat untuk membicarakan legacy atau karya unggulan yang ia wariskan kepada organisasi modernis terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, yang berdiri tahun 1912 ini. Tentu saja ada catatan yang sering disebut sebagai

Politik Kebangsaan Muhammadiyah

Suara Merdeka, 19 Agustus 2015 Abdul Mu'ti DALAM pidato iftitah Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar, Prof Din Syamsuddin menawarkan tiga opsi politik bagi persyarikatan. Pertama, bersikap netral dengan membangun kedekatan yang sama dengan partai politik. Muhammadiyah tidak terpengaruh dan tidak terlibat dalam hiruk-pikuk kekuasaan. Kedua, mendirikan partai politik sebagai amal usaha di mana Muhammadiyah menentukan kepemimpinan dan kebijakan partai. Atau, Muhammadiyah berafiliasi dengan partai politik tertentu sebagai partai utama. Partai tetap independen dalam hal kepemimpinan dan kebijakan. Hubungan Muhammadiyah dengan partai bersifat aspiratif, bukan simbolis. Ketiga, tetap menjaga kedekatan yang sama dengan partai politik, namun dalam situasi tertentu mendukung calon eksekutif dan legislatif. Orientasi politik Muhammadiyah bersifat adhoc dan rasional dengan melihat individu dan partai yang akan dipilih. Ketiga pilihan tersebut dilaksanakan dengan tetap mempertahankan jati di

Sejarah Singkat Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah

Gambar
Tanggal 17 malam 18 Juni 1920, berlangsung rapat anggota Muhammadiyah Istimewa, dipimpin sendiri oleh Yang Mulia K.H.A Dahlan. Rapat malam itu adalah pengesahan dan pelantikan pimpinan Bahagian dalam Hoofd Bestuur (baca: hof bestir) Muhammadiyah. Pertama, Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bahagian Sekolahan, ketua: H.M. Hisyam. Kedua, Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bahagian Tabligh, ketua: H.M. Fakhrudin.  Ketiga, Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bahagian Penolong Kesengsaraan Oemoem, ketua; H.M. Sjoedja’. Dan keempat, Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bahagian Taman Pustaka, ketua: H.M. Mokhtar. Bestuur Taman Pustaka 1922 Sebelum pelantikan, para Ketua Bahagian yang akan dilantik oleh fihak pimpinan, diminta kesetiaannya, akan sampai kemana mereka akan memimpin usaha Bahagiannya.  Masing-masing ketua bahagian menyampaikan pernyataan cita-citanya. Tiba gilirannya, H.M.  Mokhtar menyampaikan dengan tegas: “Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bahagian Taman Pustaka akan bersungguh-sungguh berusaha menyiarkan agama Islam

Visitor

Online

Related Post