Profil Haedar Nashir, Ketua Umum Muhammadiyah yang Baru
Tempo, Jum'at, 07 Agustus 2015 | 13:21 WIB
TEMPO.CO, Makassar - Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, Jumat pagi, 7 Agustus 2015, baru saja menggelar serah terima jabatan dari Ketua Umum yang lama, Din Syamsuddin, kepada Ketua Umum periode 2015-2020, Haedar Nashir. Pergantian pejabat merupakan puncak muktamar, yang rencananya ditutup siang ini oleh Wakil Presiden M. Jusuf Kalla.
Sebelumnya, Haedar ditunjuk menjadi ketua umum oleh 13 formatur baru PP Muhammadiyah. Proses pemilihannya hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit lewat dalam sidang tertutup di luar pleno muktamar. Pemilihan itu sudah banyak diprediksi, karena sebelumnya Haedar menempati urutan teratas dalam pemungutan suara 2.000 peserta muktamar terhadap 39 daftar calon tetap.
Di lingkungan Muhammadiyah, Haedar Nashir bukan orang baru. Bisa dibilang dia besar dan tumbuh bersama organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan. Haedar merangkak dari bawah. Tahun 1983 dia mulai menjabat Ketua I Pengurus Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
Sejak tahun 1985 hingga 1990, Haedar dipercaya mengisi Deputi Kader PP Pemuda Muhammadiyah. Selanjutnya menjadi Ketua Badan Pendidikan Kader (BPK) dan Pembinaan Angkatan Muda Muhammadiyah PP (1985-2000). Terakhir, dia menjabat Sekretaris PP Muhammadiyah pada 2000-2005, sebelum menjadi Ketua PP dua periode hingga 2015.
Lahir di Bandung, 25 Februari 1958, Haedar malah banyak aktif berkegiatan di Yogyakarta. Ia tercatat sebagai anggota Muhammadiyah di daerah tersebut. Juga rutin mengajar di Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Istrinya, Siti Noordjannah Djohantini, juga menjabat Ketua Umum PP Aisyiyah dan berpeluang besar terpilih kembali untuk periode kedua.
Di mata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin, Haedar Nashir dianggap layak untuk memimpin Muhammadiyah lima tahun ke depan. Haedar dianggap sebagai seorang kader sejati Muhammadiyah. “Beliau dikader dari bawah sejak di IPM, Pemuda hingga terlibat di kepengurusan PP Muhammadiyah,” katanya kepada wartawan, Kamis, 6 Agustus 2015. “Dan di PP Muhammadiyah sekarang, kami memberikan wewenang kepada beliau untuk bertanggung jawab di bidang keorganisasian,” tuturnya.
Din juga menilai sosok Haedar sebagai tokoh intelektual. Haedar merupakan penulis yang prolifik dan rutin menulis di berbagai media massa. Bahkan karena keilmuannya, Haedar sering diberi tanggung jawab untuk menggarap konsep besar Muhammadiyah. “Pak Haedar sering kami tunjuk untuk menjadi ketua tim. Seperti, konsep Indonesia Berkemajuan itu, tim perumusnya diketuai oleh beliau,” kata Din.
Pada muktamar kali ini, Haedar bersaing dengan sejumlah rekan sejawatnya di Pengurus Pusat Muhammadiyah. Mereka antara lain Yunahar Ilyas, Dahlan Rais, Abdul Mu’ti, dan Syafiq A. Mughni. Juga dengan tokoh populer semacam seperti Busyro Muqaddas, yang pernah menjabat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial. Din menganggap mereka semua yang terpilih sebagai kader yang berkualitas. “Siapa pun yang terpilih, akan saya dukung,” ujarnya.
Ada yang menarik dari muktamar kali ini. Sebab di saat bersamaan, istri Haedar, Siti Noordjannah Djohantini, juga menambah masa jabatan di PP Aisyiyah sebagai ketua umum. Keduanya pun mengikuti jejak pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dan istrinya, Siti Walidah, sekitar satu abad lalu di masa pendirian Muhammadiyah.
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam didirikan oleh KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta, pada 1912. Dua tahun berselang, istri Dahlan, Hajjah Siti Walidah, mendirikan Sopo Tresno, kelompok yang berfokus pada pembahasan isu-isu perempuan. Walidah yang akrab disapa Nyai Dahlan kemudian mengubah nama kelompok itu menjadi Aisyiyah, yang terinspirasi dari nama istri Nabi Muhammad, Aisyah. Belakangan Aisyiyah menjadi bagian Muhammadiyah dengan menjadi organisasi otonom untuk perempuan.
Dahlan diketahui memimpin Muhammadiyah hingga akhir hayatnya di tahun 1923. Adapun Nyai, selain memimpin Aisyiyah, juga aktif di Muhammadiyah selepas peninggalan suaminya. Ia sebagai perempuan pertama yang memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, 1926.
Setelah generasi Dahlan dan Nyai, bergantian tokoh memimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah. Selama puluhan tahun berselang, belum pernah ada pasangan suami-istri yang mengikuti jejak mereka, memimpin kedua organisasi dalam waktu bersamaan. Peluang itu terbuka pada Muktamar ke-47 di Makassar, yang juga bertepatan dengan peringatan satu abad Muhammadiyah dan Aisyiyah.
AAN PRANATA
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/07/173689941/profil-haedar-nashir-ketua-umum-muhammadiyah-yang-baru
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/07/173689941/profil-haedar-nashir-ketua-umum-muhammadiyah-yang-baru/2
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/07/173689941/profil-haedar-nashir-ketua-umum-muhammadiyah-yang-baru/3
TEMPO.CO, Makassar - Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, Jumat pagi, 7 Agustus 2015, baru saja menggelar serah terima jabatan dari Ketua Umum yang lama, Din Syamsuddin, kepada Ketua Umum periode 2015-2020, Haedar Nashir. Pergantian pejabat merupakan puncak muktamar, yang rencananya ditutup siang ini oleh Wakil Presiden M. Jusuf Kalla.
Sebelumnya, Haedar ditunjuk menjadi ketua umum oleh 13 formatur baru PP Muhammadiyah. Proses pemilihannya hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit lewat dalam sidang tertutup di luar pleno muktamar. Pemilihan itu sudah banyak diprediksi, karena sebelumnya Haedar menempati urutan teratas dalam pemungutan suara 2.000 peserta muktamar terhadap 39 daftar calon tetap.
Di lingkungan Muhammadiyah, Haedar Nashir bukan orang baru. Bisa dibilang dia besar dan tumbuh bersama organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan. Haedar merangkak dari bawah. Tahun 1983 dia mulai menjabat Ketua I Pengurus Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
Sejak tahun 1985 hingga 1990, Haedar dipercaya mengisi Deputi Kader PP Pemuda Muhammadiyah. Selanjutnya menjadi Ketua Badan Pendidikan Kader (BPK) dan Pembinaan Angkatan Muda Muhammadiyah PP (1985-2000). Terakhir, dia menjabat Sekretaris PP Muhammadiyah pada 2000-2005, sebelum menjadi Ketua PP dua periode hingga 2015.
Lahir di Bandung, 25 Februari 1958, Haedar malah banyak aktif berkegiatan di Yogyakarta. Ia tercatat sebagai anggota Muhammadiyah di daerah tersebut. Juga rutin mengajar di Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Istrinya, Siti Noordjannah Djohantini, juga menjabat Ketua Umum PP Aisyiyah dan berpeluang besar terpilih kembali untuk periode kedua.
Di mata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin, Haedar Nashir dianggap layak untuk memimpin Muhammadiyah lima tahun ke depan. Haedar dianggap sebagai seorang kader sejati Muhammadiyah. “Beliau dikader dari bawah sejak di IPM, Pemuda hingga terlibat di kepengurusan PP Muhammadiyah,” katanya kepada wartawan, Kamis, 6 Agustus 2015. “Dan di PP Muhammadiyah sekarang, kami memberikan wewenang kepada beliau untuk bertanggung jawab di bidang keorganisasian,” tuturnya.
Din juga menilai sosok Haedar sebagai tokoh intelektual. Haedar merupakan penulis yang prolifik dan rutin menulis di berbagai media massa. Bahkan karena keilmuannya, Haedar sering diberi tanggung jawab untuk menggarap konsep besar Muhammadiyah. “Pak Haedar sering kami tunjuk untuk menjadi ketua tim. Seperti, konsep Indonesia Berkemajuan itu, tim perumusnya diketuai oleh beliau,” kata Din.
Pada muktamar kali ini, Haedar bersaing dengan sejumlah rekan sejawatnya di Pengurus Pusat Muhammadiyah. Mereka antara lain Yunahar Ilyas, Dahlan Rais, Abdul Mu’ti, dan Syafiq A. Mughni. Juga dengan tokoh populer semacam seperti Busyro Muqaddas, yang pernah menjabat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial. Din menganggap mereka semua yang terpilih sebagai kader yang berkualitas. “Siapa pun yang terpilih, akan saya dukung,” ujarnya.
Ada yang menarik dari muktamar kali ini. Sebab di saat bersamaan, istri Haedar, Siti Noordjannah Djohantini, juga menambah masa jabatan di PP Aisyiyah sebagai ketua umum. Keduanya pun mengikuti jejak pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dan istrinya, Siti Walidah, sekitar satu abad lalu di masa pendirian Muhammadiyah.
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam didirikan oleh KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta, pada 1912. Dua tahun berselang, istri Dahlan, Hajjah Siti Walidah, mendirikan Sopo Tresno, kelompok yang berfokus pada pembahasan isu-isu perempuan. Walidah yang akrab disapa Nyai Dahlan kemudian mengubah nama kelompok itu menjadi Aisyiyah, yang terinspirasi dari nama istri Nabi Muhammad, Aisyah. Belakangan Aisyiyah menjadi bagian Muhammadiyah dengan menjadi organisasi otonom untuk perempuan.
Dahlan diketahui memimpin Muhammadiyah hingga akhir hayatnya di tahun 1923. Adapun Nyai, selain memimpin Aisyiyah, juga aktif di Muhammadiyah selepas peninggalan suaminya. Ia sebagai perempuan pertama yang memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, 1926.
Setelah generasi Dahlan dan Nyai, bergantian tokoh memimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah. Selama puluhan tahun berselang, belum pernah ada pasangan suami-istri yang mengikuti jejak mereka, memimpin kedua organisasi dalam waktu bersamaan. Peluang itu terbuka pada Muktamar ke-47 di Makassar, yang juga bertepatan dengan peringatan satu abad Muhammadiyah dan Aisyiyah.
AAN PRANATA
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/07/173689941/profil-haedar-nashir-ketua-umum-muhammadiyah-yang-baru
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/07/173689941/profil-haedar-nashir-ketua-umum-muhammadiyah-yang-baru/2
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/07/173689941/profil-haedar-nashir-ketua-umum-muhammadiyah-yang-baru/3
Komentar
Posting Komentar