Warisan Din Syamsuddin untuk Muhammadiyah



Koran Sindo, 21 Agustus 2015

Oleh Ahmad Najib Burhani*

Din Syamsuddin telah usai menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah setelah memimpin organisasi Islam modernis terbesar itu selama dua periode 2005-2010 dan 2010-2015. Meski sesuai dengan AD/ART (Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga) ia masih bisa dipilih lagi menjadi salah satu pimpinan kolektif-kolegial Muhammadiyah yang terdiri dari 13 orang, namun ia memutuskan untuk tidak mengembalikan formulir kesediaan untuk dipilih lagi sebagai upaya kaderisasi sehingga muncul pimpinan baru. Seperti yang beberapa kali disampaikannya, ia memilih untuk menjadi ketua Muhammadiyah ranting Ragunan, daerah tempat ia tinggal saat ini.

Karena Din Syamsuddin tidak lagi menjadi pimpinan Muhammadiyah, maka barangkali ini saat yang tepat untuk membicarakan legacy atau karya unggulan yang ia wariskan kepada organisasi modernis terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, yang berdiri tahun 1912 ini. Tentu saja ada catatan yang sering disebut sebagai kekurangannya selama sepuluh tahun (2005-2015) memimpin Muhammadiyah, misalnya kurang berhasilnya organisasi ini dalam menempatkan kader-kader terbaiknya dalam birokrasi pemerintahan. Namun tulisan ini khusus melihat apa saja warisan dan prestasi dari Din Syamsuddin yang patut dilanjutkan oleh para penerusnya di Muhammadiyah.

Karir Zig Zag
Din Syamsuddin merupakan sosok yang multidisiplin secara akademik, memiliki karir profesional yang tidak tunggal, dan pergaulan yang tak terkungkung pada kelompok tertentu. Pendidikan sarjananya sebetulnya dalam ilmu perbandingan agama, namun ia lantas menulis disertasi doktoral tentang politik Islam dan setelah itu terjun dalam politik sebagai Ketua Litbang (Penelitian dan Pengembangan) DPP Golkar. Setelah Reformasi, ia menjadi Direktur Jenderal  Binapenta (Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja) Departemen Tenaga Kerja. Yang menjadi element of surprise (mengejutkan), ia lantas menjadi Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dari segi pergaulan, Din juga tidak membatasi dirinya untuk bergaul hanya dengan kalangan akademisi atau politisi atau agamawan, tapi ia juga memiliki jamaah pengajian yang peserta adalah kalangan artis.

Disiplin akademik, karir profesional, dan pergaulan yang luas itulah yang membuat Din Syamsuddin sering disalahpahami dan persalahkan. Dikalangan aktivis NGO dan pengamat asing, Din Syamsuddin sering dipandang dengan sinis dan bahkan menjadi bahan ledekan karena sikapnya yang seringkali dianggap tidak konsisten, terutama dalam kaitannya dengan isu kelompok minoritas. Ia memiliki posisi strategis di MUI, sebagai wakil ketua dan kemudian menjadi ketua, namun tak mampu menahan lembaga tersebut mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversial berkaitan dengan kelompok minoritas, pluralisme, dan liberalisme. Ia sering mengadakan pertemuan tingkat tinggi tokoh-tokoh agama, namun suaranya jarang terdengar dalam kasus-kasus kecil intoleransi keagamaan.

Pertanyaannya sekarang, sebagaimana tertulis dalam pengantar buku Kiprah Pencerahan: Karya Unggulan Muhammadiyah 2005-2015, seperti apakah sebetulnya sosok Din Syamsuddin itu? Apa prestasi dan warisan kepemimpinan Muhammadiyah masa Din Syamsuddin dalam dua periode itu (2005-2010 dan 2010-2015)?

Konservatisme dan Kosmopolitanisme
Beberapa kalangan sering menuduh Din Syamsuddin sebagai representasi dari kelompok konservatif dari Muhammadiyah. Ia memimpin organisasi itu setelah periode Buya Syafii Maarif yang dikenal sangat progresif. Namun di Muhammadiyah sendiri, ia sering menjadi jembatan antara kubu Islam kanan dan kiri. Bahkan ia sering dituduh sebagai orang liberal dalam internal Muhammadiyah karena pembelaannya terhadap Syiah dan beberapa pernyataannya bahwa Syiah adalah bagian dari Islam. Peran “bridging” (menjembatani) Din Syamsuddin itu, misalnya, terlihat hasilnya ketika isu liberal vs. konservatif  itu tak muncul lagi di Muktamar Muhammadiyah ke-46 di Yogyakarta. Justru yang tampil adalah warna kultural Muhammadiyah sebagai organisasi berbudaya Jawa. Din Syamsuddin sendiri tampil sebagai pemain dalam pertunjukan ketoprak dengan judul “Mletheking Surya Andadari” (Terbitnya Matahari yang Bersinar Terang).

Dalam periode kedua kepemimpinannya, beberapa kegiatan Muhammadiyah banyak yang merefleksikan bagaimana organisasi ini merespon tantangan global, termasuk pengaruh budaya dari Arab dan Barat. Ini terwujud dalam beberapa hal, diantaranya adalah jihad konstitusi, internasionalisasi Muhammadiyah, pelayanan sosial baru dalam wadah MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center) dan MPM (Majelis Pengembangan Masyarakat), serta pengembangan hubungan antar agama. Dalam Muktamar ke-47 di Makassar, Muhammadiyah bahkan memilih tema yang berkaitan dengan posisi Muhammadiyah yang mengusung Islam Berkemajuan atau Islam yang Kosmpolitan, yakni Islam yang berwawasan dunia, keluar dari kungkungan negara-bangsa.

Dalam dunia yang global ini Muhammadiyah berupaya untuk ikut berdialog dan berbagi dengan berbagai peradaban dunia, tidak hanya sebagai penerima pengaruh asing tapi juga mempengeruhi masyarakat dunia. Inilah makna dari kosmopolitanisme yang dalam aktivitas nyata diwujudkan program internasionalisasi Muhammadiyah. Program ini lantas menginspirasi pendirian beberapa PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jepang, Mesir, dan Iran. Disamping PCIM, beberapa negara bahkan telah memiliki cabang Muhammadiyah yang didirikan oleh warga asli negara tersebut, seperti di Mauritania, Vietnam, dan Malaysia.

Jihad konstitusi Muhammadiyah erat kaitannya dengan kapitalisme global. Dengan berdatangannya orang dan modal asing di Indonesia, banyak sekali kekayaan alam di negeri ini, seperti air, minyak, dan gas bumi, yang kemudian justru lebih banyak memberi manfaat kepada orang asing. Ini dimngkinkan karena beberapa perundang-undangan kita dibuat atau dikontrol oleh para kapitalis demi memuluskan kepentingan mereka. Jihad konstitusi adalah upaya untuk menjaga agar konstitusi kita mampu melindungi kekayaan kita dari dominasi kapitalis yang tidak mempedulikan kesejahteraan masyarakat.

Pelayanan sosial baru itu misalnya terwujud dalam pelayanan sosial yang non-sektarian dan mempersiapkan masyarakat agar tidak gagap terhadap bencana. Muhammadiyah, melalui MDMC dan MPM, misalnya, melakukan bantuan kepada kelompok yang sering dituduh sesat, semisal Syiah, dan mempersiapkan masyarakat Indonesia yang hidup dalam ring of fire (rangkaian gunung berapi) untuk tidak gagap terhadap bencana.

Itulah beberapa warisan distinctive (sangat berbeda) yang menandai masa kepemimpinan Din Syamsuddin di Muhammadiyah dibandingkan ketua umum sebelumnya. Beberapa karya tersebut perlu untuk menjadi pelajaran dan dilanjutkan oleh pimpinan baru di Muhammadiyah. Hal yang masih menjadi tanda tanya sekarang adalah, karir dan aktivitas apa yang akan dipilih Din Syamsuddin seusai purna tugas di Muhammadiyah?
--oo0oo—

*Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) & Maarif Institute.

Komentar

Visitor

Online

Related Post