Kesatria?
Oleh: M. Husnaini
Salah seorang aktivis muda Muhammadiyah mengeluhkan bahwa Muhammadiyah kini sudah tidak lagi menarik. Gerakan dakwahnya sangat lamban. Kalah gesit dibanding organisasi-organisasi Islam lain yang relatif baru. Muhammadiyah, menurutnya, hanya besar dalam nama. Programnya banyak yang tidak berjalan. “Pemuda Muhammadiyah itu apa sih kegiatannya? Adanya sama dengan tidak ada,” tuturnya berapi-api.
Kritik semacam itu positif belaka. Kritik merupakan bukti cinta. Boleh jadi, tidak banyak pemuda yang memiliki kepedulian sebegitu mendetail terhadap kondisi Persyarikatan. Andai bermunculan pemuda-pemuda lain dengan ketajaman pikir serupa itu, tentu gerakan Muhammadiyah senantiasa lurus di atas relnya. Menjadi ironi ketika kritik seperti itu lantas disusul dengan tindakan hengkang dari Muhammadiyah.
Pemuda barusan segera hijrah ke organisasi Islam lain yang sangat bernuansa politik. Sembari tetap mencari makan di Muhammadiyah, dia terus menghujat Muhammadiyah yang disebutnya kurang Islami karena tidak menegakkan negara Islam. Sikap moderat yang selama ini menjadi pilihan khas Muhammadiyah dibilang sebagai bentuk ketidaktegasan dalam sikap. Dia mengklaim, “Organisasi model begini tidak akan pernah mampu menyelesaikan masalah.”
Dahsyat benar dampak gerakan Islam transnasional yang belakangan berkecambah. Perkembangan mutakhir, muncul Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang merupakan gerakan politik radikal dan brutal. Berbahaya. ISIS lahir dari kekacauan politik di dunia Arab, khususnya Irak dan Suriah. Sebelum itu, dinamika keislaman Tanah Air sudah disesaki oleh sejumlah gerakan Islam militan, semisal Jamaah Tablig, Gerakan Tarbiyah, Islam Salafi, Ansharut Tauhid, Ikatan Jamaah Ahlul Bait, Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, Negara Islam Indonesia, Majelis Tafsir Al-Qur’an, dan sebagainya. Tidak sedikit warga Muhammadiyah yang kepincut dengan gerakan-gerakan Islam transnasional itu.
Setelah usia satu abad, pertambahan kuantitas warga Muhammadiyah memang tidak selalu seiring dengan peningkatan kualitas. Masih banyak yang menganggap Muhammadiyah sebatas gerakan dakwah. Lupa bahwa term dakwah, dalam Muhammadiyah, selalu bergandeng dengan term tajdid. Gagal memahami bahwa kata purifikasi atau pemurnian selalu lengket dengan kata pembaruan atau dinamisasi. Tidak sadar jika Muhammadiyah sangat aktif berbicara soal pemurnian akidah sekaligus gigih memajukan kehidupan melalui amal usaha praktis.
Muhammadiyah bukanlah organisasi Islam kemarin sore. Sebelum negara ini lahir, Muhammadiyah telah tegak sejak 18 November 1912. Cobalah hitung jasa dan pengabdian Muhammadiyah. Ketika orang belum ribut soal negara Islam, KH Abdul Kahar Mudzakkir, Mr Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, bersama tokoh bangsa lainnya, sudah merumuskan konstitusi negara dalam format Piagam Jakarta. Namun, demi keutuhan bangsa, ketiga tokoh Muhammadiyah itu legowo untuk mengganti tujuh kata keramat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta itu menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa.”
Adalah keblinger kalau mengatakan Muhammadiyah tidak mampu berbuat. Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang lincah, progresif, militan, dan mendahului organisasi-organisasi lain. Tidak salah kalau KH Ahmad Dahlan menamakan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam Berkemajuan. Predikat demikian sudah diamini oleh banyak peneliti dari dalam dan luar negeri. Alfian menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan Islam reformis, Soekarno menyebutnya gerakan Islam progresif, Deliar Noer menyebutnya gerakan Islam modern, Azyumardi Azra menyebutnya gerakan salafisme washatiyah, Nakamura menyebutnya gerakan yang amat disiplin dan patuh namun toleran, William Shepard menyebutnya gerakan Islamic modernism, dan Charles Kurzman menyebut Kiai Dahlan dan Muhammadiyah sebagai Islam liberal.
Warga Muhammadiyah, terutama kaum muda, penting mendalami ideologi resmi Muhammadiyah sebelum berucap dan bertindak. Pemikiran ideologi Muhammadiyah itu secara khusus terkandung dalam Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (1946) serta Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (1969). Aspek strategi dakwah Muhammadiyah termaktub dalam Khittah Muhammadiyah (1956, 1971, 1978, 2002). Jangan lupa pula pemikiran lain yang bersifat ideologis, misalkan Dua Belas Langkah Muhammadiyah (1938), Al-Masail Al-Khamsah (1954), Kepribadian Muhammadiyah (1962), Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (2000), Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad (2005), Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua (2010).
Saatnya kita bermuhammadiyah dengan cerdas. Sangat kreatif mencacat Muhammadiyah sembari terus-menerus bergantung hidup dalam amal usaha Muhammadiyah hanyalah perilaku musuh dalam selimut, duri dalam daging, menggunting dalam lipatan. Adakah itu sikap kesatria?
Dimuat di Suara Muhammadiyah, Edisi 16-30 September 2014
Komentar
Posting Komentar