Al-Munir dan Kyai Ahmad Dahlan


Oleh Mu’arif

Padang Panjang, 1916. Seorang ulama terkemuka dan sekaligus pengelola majalah Islam baru saja pulang dari kunjungannya ke Semenanjung Malaya (semenanjung besar di barat daya pulau Sumatera yang dipisahkan oleh selat Malaka, kini disebut Malaysia) dalam rangka memenuhi undangan dari para pembaca Al-Munir. Setahun kemudian, ia langsung mempersiapkan kunjungan berikutnya ke Pulau Jawa (1917). Ulama terkemuka itu bernama Haji Abdulkarim Amrullah atau lebih dikenal dengan sebutan Haji Rasul yang tidak lain adalah ayah kandung Buya HAMKA (Haji Abdulmalik Karim Amrullah).

Dari Padang naik kapal menuju Batavia. Ia disamput oleh Dt. Tumenggung, orang Minangkabau yang menetap di Batavia. Dari Batavia menuju Bandung, bertemu Abdul Muis, orang Minang yang menjadi tokoh pergerakan nasional. Dari Bandung diteruskan ke Pekalongan, lalu ke Surabaya.

Haji Rasul berkunjung ke Pulau Jawa ketika kekuatan pergerakan umat Islam semakin menggeliat di bawah bendera Syarikat Islam pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya (Jawa Timur). Sosok Tjokro memang telah menginspirasi kader-kader pergerakan nasional. Ia memimpin SI cabang Surabaya secara independen, tidak terikat secara struktural dengan Syarikat Islam (sebelumnya bernama Syarikat Dagang Islam) pimpinan Haji Samanhudi di Surakarta.

Tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, pengampu Surau Jembatan Besi ini bertemu dan berdialog dengan tokoh-tokoh SI di Bandung, Pekalongan, dan Surabaya. di Pekalongan, ia sempat menemui anak dan menantunya yang telah lama merantau. Pada waktu itu, berita tentang sosok ulama pembaru dari Yogyakarta sudah santer beredar.

Dari Pekalongan, Haji Rasul berkunjung ke Yogyakarta, menemui seorang khatib yang menjadi motor gerakan pembaruan Islam di kampung Kauman. Haji Rasul bertemu dan berdialog dengan Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Dari pertemuan tersebut, Haji Rasul makin mantap menjadi salah satu pembina Muhammadiyah di Padang Panjang, sekalipun ia sendiri tidak pernah masuk dalam struktur kepengurusan organisasi ini. Tetapi menantunya yang tinggal di Pekalongan bahkan menjadi salah satu tokoh yang pernah mengomandani kepengurusan Muhammadiyah di tingkat pusat.

Dialah Buya AR. Sutan Mansur, menantu Haji Rasul dan kakak ipar Buya HAMKA. Buya HAMKA merekam dengan baik perjalanan ayahnya ketika berkunjung ke Yogyakarta dan singgah di rumah Kyai Ahmad Dahlan. Dalam buku Ayahku (1967),

HAMKA mengisahkan bahwa sosok Kyai Ahmad Dahlan sebelum mendirikan Muhammadiyah adalah anggota Jami’atul Khair. Khatib Amin (Kyai Ahmad Dahlan) adalah pembaca setia majalah Al-Urwatul Wutsqa dan Al-Manar—terbit di Mesir. Ketika di Padang Panjang terbit majalah Al-Munir (1911)—dari segi konten mirip Al-Manar—konon Kyai Ahmad Dahlan meluapkan kegembiraannya dengan cara menjadi salah satu pelanggan dan pembaca setia majalah yang menggunakan huruf Arab berbahasa Melayu ini.

Begitu besar pengaruh Al-Munir dalam pemikiran pembaruan Kyai Ahmad Dahlan, konon Haji Rasul selalu mengulang-ulang kisah penerbitan majalah ini dengan gerakan pembaruan Muhammadiyah kepada anaknya. HAMKA sendiri pada waktu itu masih belum bisa memahami ketika ayahnya selalu mengulang-ulang kisah ketika tahun 1911 Al-Munir terbit mengusung gagasan pembaruan Islam. Setahun berikutnya (1912), Kyai Ahmad Dahlan sebagai salah satu pelanggan dan pembaca setia Al-Munir mendirikan organisasi Muhammadiyah. Seakan-akan Haji Rasul hendak menyampaikan kepada anaknya bahwa penerbitan majalah Al-Munir pada tahun 1911 di Padang Panjang dan berdirinya organisasi Muhammadiyah pada tahun 1912 di Yogyakarta adalah satu matarantai pembaruan Islam di tanah air ini.

Ketika HAMKA mulai aktif di Muhammadiyah barulah ia memahami kisah yang sering diulang-ulang oleh ayahnya tentang matarantai gerakan pembaruan Islam dari penerbitan majalah Al-Munir di Padang Panjang hingga berdirinya Muhammadiyah di Yogyakarta. Bahkan, kesaksian K.R.H. Hadjid, salah seorang murid Kyai Ahmad Dahlan, menguatkan tesis ini. Kepada Buya HAMKA, Hadjid pernah menceritakan bagaimana pentingnya majalah Al-Munir dalam mematangkan dan sekaligus menguatkan gagasan-gagasan pembaruan Kyai Ahmad Dahlan. Ketika heboh reaksi para penghulu Kraton Yogyakarta menanggapi gagasan-gagasan pembaruan Kyai Ahmad Dahlan, konon beberapa makalah (artikel) Al-Munir menjadi rujukan untuk menangkis serangan kritik dan cemoohan para penghulu Kraton.

Ketika Al-Munir berhenti terbit pada akhir tahun 1915, para pelanggan dan pembaca setia majalah ini merasakan kehilangan. Tetapi artikel-artikel karangan Haji Abdullah Ahmad, salah seorang redaktur Al-Munir, yang telah dimuat di majalah ini diterbitkan kembali menjadi sebuah buku dengan judul Ilmu Sejati (seputar tauhid).

Kumpulan artikel karangan Haji Rasul yang pernah dimuat di Al-Munir juga diterbitkan kembali dalam berbagai topik. Ketika Haji Rasul bertamu ke rumah Kyai Ahmad Dahlan di Kauman, sang khatib yang tidak lain adalah pelanggan dan pembaca setia Al-Munir memohon ijin untuk menyalin kembali karangan-karangan Haji Rasul untuk disebarkan lewat organisasi Muhammadiyah dan jaringan sekolah-sekolahnya.

Retrieved from: http://suaramuhammadiyah.com/kolom/2016/03/19/al-munir-dan-kyai-ahmad-dahlan/

Komentar

Visitor

Online

Related Post