Pola “Muhammadiyah-Jawa” = “Teteh Melody-JKT48”: Apa perlu Melody masuk IMM? (1)
Perbincangan mengenai Muhammadiyah tampaknya tidak akan pernah selesai dibicarakan. Mulai dari sekedar perdebatan klasik seputar permasaahan fiqhiyyah (furu’iyyah) seperti qunūth, tahlilan, dan slametan hingga penelitian akademik, dengan topic yang beragam. Sejak dahulu, Muhammadiyah memang salah satu organisasi keagamaan Islam di Indonesia yang banyak dijadikan objek penelitian, tidak hanya peneliti dalam negeri namun juga luar negri. Salah satu penelitian bercorak antropologis mengenai Muhammadiyah adalah karya dari Mitsuo Nakamura (1976) yang berjudul The Crescent Arises Over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town. Dalam karyanya ini, Nakamura banyak membahas mengenai hubungan Muhammadiyah dengan lokalitas budaya Jawa pada abad kedua-puluh. Kalau dari namanya, tentu saja kita bisa menebak, dari mana Eyang Nakamura berasal? Betul sekali, bukan dari Korea, tapi dari negara tempat lahirnya AKB48: Jepang. Belio ini merupakan salah satu peneliti luar negri yang dengan setia mengkaji Muhammdiyah selama berpuluh-puluh tahun, bahkan belio juga menyempatkan hadir di Muktamar Muhammadiyah. Tentu saja tidak untuk nyalon jadi formatur, tapi untuk menyaksikan bagaimana organisasi Muhammadiyah—yang telah ia teliti berpuluh tahun ini—menyelenggarakan majelis tertingginya serta keputusan apa saja yang dihasilkan. Begitulah setianya para peneliti Muhammadiyah mencurahkan waktunya untuk senantiasa mengupgrade informasi, serta menambah referensi informasi melalui dokumen-dokumen resmi Muktamar.
Saya selalu bertanya sendiri, Lah saya, yang secara legal-formal jadi kader Muhammadiyah melalui organisasi otonom (ortom)-nya, sudah ngapain? Sekadar membaca naskah dan dokumentasi Muktamar saja, masih terselip rasa malas. Mengapa para peneliti (baik dalam maupun luar negri) sebegitu giat dan serius memahami organisasi ini? Pertanyaan ini patut untuk senantiasa dijadikan bahan refleksi bersama.
Perbincangan mengenai Muhammadiyah akhir-akhir ini juga ramai terjadi di media online, bukan membincangkan persoalan tahlilan-slametan-qunūth tapi soal kedekatan ideology Muhammadiyah dengan ideology Wahhabi. Tentu saja, hal seperti itu tidak mengherankan, sebab organisasi yang didirikan Raden Ngabehi Ahmad Dahlan[1] ini mengusung misi purifikisi (satu lagi dinamisasi) dengan slogan al-rujū’ ilā l-Qur’ān wa l-sunnah, tidak jauh berbeda lah secara etimologis sama gerakan Wahabi, tapi secara pemahaman dan praktik purifikasi tentu saja keduanya memiliki perbedaan. Selanjutnya perbincangan ini direspon website Suara Muhammadiyah (SM) dengan editorial berjudul Muhammadiyah Lā Wahhabiyah. Dalam tulisan itu dinyatakan bahwa pihak yang mengaitkan organisasi Muhammadiyah (serta ormas Islam modern lain) dengan Wahabi merupakan pihak yang sama dengan dulu; tidak suka dengan ancaman Muhammadiyah terhadap basis-massa di akar rumput yang “terbiasa memelihara tradisi yang berbau syirk, bidah dan khurafat atau TBC”.[2] Pada paragraf sebelumnya, selain bantahan terhadap pengaitan Muhammadiyah dengan Wahhabi, tulisan itu menjelaskan masalah pihak yang mencoba mengaitkan Muhammadiyah dengan pelaku bom Sarinah; yang diduga pelakunya “bukan dari Pesantren NU”. Pernyataan ini, menurut editorial SM memojokkan pesantren lain, yang bukan dari NU, “Suatu pengaitan yang ceroboh dan menyimpan maksud negatif untuk memojokkan kembali Muhammadiyah.”
Menurut hemat saya, tanggapan editorial SM, alih-alih menjernihkan susasana, malah berpotensi akan menyulut perdebatan lain. Meskipun di akhir tulisan menyatakan, bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan Islam tertau di Republik ini tidak akan terhasut oleh pandangan atau pendapat yang berpotensi menyudutkan gerakan ini, tetapi hal itu tentu saja tidak perlu dilakukan dengan (juga) menyudutkan pihak lain—yang barangkali tidak pernah bermaksud menyudutkan Muhammadiyah. Tertutama kali, jika memang tulisan itu ditujukan untuk membalas pernyataan ormas Islam lain, yang disebut sebagai “pemelihara TBC”. Maka, perlu sikap bijak dalam menjernihkan suasana ini, tidak dengan reaktif saja, tetapi perlu ada komunikasi dan tabayyun, agar jelas posisi permasalahan ini. Di tengah-tengah perdebatan yang ada di media maya, di sisi lain muncul satu contoh baik dalam menanggapi perdebatan itu, yang ditunjukkan dalam Diskusi Bulanan Majelis Pendidikan Tinggi dan Penelitian Pengembangan (Majelis DIKTI-LITBANG) PP Muhammadiyah, bertajuk: “Muhammadiyah dan Budaya Jawa”. Melalui diskusi ilmiah seperti ini, para warga Muhammadiyah serta masyarakat pada umumnya diharapkan tidak akan mudah digiring pada opini-opini yang mengarahkan pada konflik—minimal sinis—antar organisasi Islam. Tidak hanya itu, diskusi dan kajian ilmiah akan menambah wawasan warga persyarikatan untuk menyikapi “tuduhan” kepada Muhammadiyah dengan jernih, sehingga argumentasi yang digunakan tidak emosional tapi rasional-akademis yang didasari pada temuan dan hasil penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga, diksusi semacam ini sangat perlu dilakukan secara berkala, tidak hanya perihal menjernihkan hubungan Muhammadiyah dengan budaya Jawa dan juga hubungannya dengan Wahabi, tetapi dikembangkan ke pembahasan yang lebih luas.
Diskusi bulanan ini sekaligus membedah buku Dr. Ahmad Najib Burhani yang berjudul Muhammadiyah Jawa. Panelis lain yang turur hadir adalah Dr. Mark Woodward, salah satu pengamat Islam Jawa yang berasal dari negri Paman Sam. Tema diksusi ini tentu masih amat jarang didengar. Saya menduga, kelangkaan judul/tema kajian yang mencoba menghubungkan Muhammadiyah dengan budaya Jawa, karena itu merupakan hal tabu, bagi aktivis, anggota, pimpinan serta simpatisan. Muhammadiyah selama ini selalu digambarkan sebagai organsasi yang berseberangan dengan budaya, yang selama ini dikaitkan dengan corak gerakannya di wilayah purifikasi. Banyak masyarakat awam yang mengganggap sebelah mata pada Muhammdiyah, saya yakin, banyak juga dari kader serta simpatisan Muhammadiyah yang belum banyak tahu mengenai hubungan Muhammadiyah dengan budaya Jawa, sehingga seolah ada ‘ketakutan’ memperbincangkan Muhammadiyah dengan budaya Jawa.
Buku Muhammadiyah Jawa karya Ahmad Najib Burhani ini ingin menunjukkan bahwa betapa Muhammadiyah di awal hidupnya, terutama KH Ahmad Dahlan sangat erat dengan budaya Jawa. Buku itu merupakan Tesis Master mas Najib (panggilan akrab-nya penulis) yang berjudul The Muhammadiyah’s Attitude to Javanese Culture in 1912-1930: Appreciation and Tension di bidang Studi Islam Fakultas Teologi Universitas Leiden, Belanda pada tahun 2004. Buku ini, sejauh yang saya tahu, sebelum diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhammadiyah, pernah diterbitkan oleh Penerbit Al-Wasat Publishing House pada tahun 2010.
Identiknya Muhammadiyah dengan gerakan pemurnian di Arab Saudi (Wahabi) tentu saja tidak hanya menimbulkan perdebatan tapi juga berpotensi menyulut sinisme antar gerakan Islam. Padahal, gerakan berlambang matahari ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari budaya Jawa, bukan pada Wahhabi. Hubungan Muhammadiyah-Jawa yang coba digali dalam buku Muhammadiyah Jawa tampak begitu erat hubungannya dengan branding Melody-JKT48. Tentu saja ini membuat kita tertawa (sinis juga, kayaknya). Muhammadiyah Jawa merupakan satu usaha untuk menjelaskan bahwa Muhammadiyah tidak akan pernah bisa dipisahkan dari tanah kelahirannya: Kauman, yang secara geografis letaknya sangat dekat dengan Keraton sebagai pusat kebudayaan Jawa. Muhammadiyah menjadi tampak sangat njawani, bukan hanya karena letak geografisnya saja, tetapi dalam kelahirannya pun, tujuh (7) dari sembilan orang pendirinya merupakan abdi dalem keraton, terkhusus Ahmad Dahlan yang juga seorang ketib amin.
Di belahan dunia lain (di luar Muhammadiyah maksudnya), hal serupa juga terjadi pada teh Melody JKT48. Ketika orang menyebut Melody, saya kira, banyak orang akan mengaitkannya dengan JKT48, bahkan sejak dalam pikiran, kata mbah Pram. Tidak bisa menjelaskan teh Melody secara komprehensif saat ini tanpa keterkaitan-eratnya dengan—apa yang disebut idol group—JKT48, begitu sebaliknya, memahami perkembangan serta gerak-gerik JKT48 tidak bisa tidak akan membahas tentang teh Meoldy, yang saat ini nota-benenya menjadi General Manager di JKT48. Tidak hanya itu menurut saya yang menarik. Melody berasal dari latar belakang tradisi sunda, yang jauh berbeda dari tradisi JKT48 yang hampir semua konsepnya tidak pernah dilepaskan dari (Kapitalisme a la) Jepang membuat semakin menarik melihat akulturasi atau adaptasi yang terjadi sehingga terbentuk semacam branding di benak semua orang: Melody JKT48. Begitu pula Muhammadiyah yang coba dipaparkan dalam buku mas Najib ini, menggambarkan adaptasi Muhammadiyah terhadap Jawa yang dilakukan dengan sangat apik dan unik.
Tulisan saya ini mengacu pada informasi serta data yang ada dalam buku ini. Karena dalam buku Muhammadiyah Jawa telah banyak dijelaskan mengenai hubungan Muhammadiyah dengan budaya Jawa (meskipun nanti saya akan jelaskan secara singkat). Sumber untuk pembahasan Melody JKT48 dilakukan dengan teknik wawancara fans JKT48, data informasi dari website resmi JKT48 serta analisis video yang relevan dengan pembahasan ini. Tulisan ini sejujurnya ingin menjawab pertanyaan: Bagaimana pola Muhammadiyah-Jawa berhubungan dengan Melody JKT48 (karena Melody ada di group JKT48, maka disingkat menjadi Melody JKT48)? Apa peran ortom dalam membangun Muhammadiyah-Jawa pada masa sekarang? Bagaimana seharusnya IMM memahami budaya Jawa?
[1] Berdasarkan wawancara Ahmad Najib Burhani dengan GPBH Joyokusumo, gelar Raden Ngabehi (R. Ng.) ini disematkan kepada Ahmad Dahlan (Burhani, 2010: 55, catatan kaki nomor 80).
[2] Lihat http://suaramuhammadiyah.com/editorial/tajuk/2016/03/09/muhammadiyyah-la-wahhabiyyah/ diposting pada 9 Maret 2016, diakses 12 Maret 2016 pukul 19.00 WIB.
Retrieved from: https://rifdoisme.wordpress.com/2016/03/16/pola-muhammadiyah-jawa-teteh-melody-jkt48-apa-perlu-melody-masuk-imm/#more-610
Komentar
Posting Komentar