Membaca Ulang Seabad Muhammadiyah
Gatra, 9 / XIX 9 Jan 2013
Konferensi riset internasional digelar menyambut 100 tahun usia Muhammadiyah. Radikalisme kaum muda dan politik jadi isu utama. Mencuat juga isu hangat fenomena gerakan konservatisme versus liberalisme, gesekan Muhammadiyah dengan Salafi di tataran ideologi, dan Muhammadiyah dengan Partai Keadilan Sejahtera di ranah politik. Tantangan Muhammadiyah lebih banyak pada soal dakwah dan idelogi?
"Sosialisasi Poligami di Kalangan Muhammadiyah". Begitulah sepenggal judul berita di majalah Tabligh edisi tahun 2003. Isinya tentang Puspo Wardoyo, pelaku poligami yang juga pengusaha restoran ayam bakar Wong Solo, yang akan diundang ke kantor Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah di Jakarta untuk bicara soal poligami.
Judul tersebut memang agak provokatif. Sebab terkesan bahwa Muhammadiyah mengampanyekan poligami. Tapi majalah Tabligh memang khas. Majalah bulanan terbitan Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus (MDTK) Muhammadiyah, Jakarta, itu sudah lama terkenal akan artikel-artikelnya yang bernada agresif. Beberapa judul lain, misalnya, "Ulil Abshar Menghujat Islam" atau "Hermeneutika Nodai Al-Quran".
Dibandingkan dengan "kakaknya" yang lebih dulu terbit, yakni majalah Suara Muhammadiyah, nuansa ideologi majalah Tabligh memang terasa lebih keras. Tidak mengherankan kalau Prof. Dawam Rahardjo, mantan pengurus PP Muhammadiyah, pernah menyebut majalah Tabligh sebagai "sarang konservatisme" di Muhammadiyah.
Fenomena majalah Tabligh adalah salah satu topik yang mencuat dalam konferensi riset internasional tentang Muhammadiyah (International Research Conference on Muhammadiyah--IRCM), yang diadakan di Universitas Muhammadiyah Malang, awal Desember lalu.
Topik itu disinggung Jamhari Makruf, dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ia meneliti edisi majalah Tabligh selama tahun 2011 dan mendapati kecenderungan agresif media tersebut. Ini terlihat, antara lain, dari tiga tema yang pernah muncul: yakni Kristenisasi, anti-toleransi, dan kasus dukungan terhadap pelarangan gereja di Yogyakarta. "Kalau orang baca artikelnya saja tanpa lihat cover majalahnya, mungkin disangka ini majalah Sabili," kata Jamhari.
Soal dukungan terhadap pelarangan gereja itu memang agak anomali. Sebab selama ini Muhammadiyah tidak terkesan "garang" dalam soal hubungan antar-agama. Ketua PP Muhammadiyah saat ini, Din Syamsuddin, bahkan berbeda pendapat dengan MUI soal fatwa "haram mengucapkan selamat Natal". Dalam beberapa kali pernyataannya, Din mengaku terbiasa memberikan ucapan selamat Natal. Ia juga menghadiri perayaan Natal bersama dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Muhammadiyah.
Namun majalah Tabligh memang beda. Walau diterbitkan oleh organ resmi Muhammadiyah, majalah ini memiliki garis kebijakan redaksional tersendiri yang tidak harus sama dengan pendapat Ketua Umum Muhammadiyah. Mengingat popularitasnya yang cukup kuat di kalangan Muhammadiyah, Jamhari pun mengajukan pertanyaan menggelitik, "Apakah [karakter majalah] ini merupakan identitas Muhammadiyah sekarang?" tanyanya.
***
Konservatisme sebenarnya memang bukan hal baru di Muhammadiyah. Terutama sejak Muktamar ke-45 (2005) yang berlangsung di Malang --dan menjadikan Din Syamsuddin sebagai ketua umum-- ide-ide konservatisme makin kuat.
Sekadar catatan, sebelum era Din Syamsuddin, Muhammadiyah dipimpin oleh Syafii Maarif yang justru terkenal sebagai tokoh pluralisme. Di era inilah Muhammadiyah tampil sebagai "the smiling Islam", Islam yang berwajah ramah. Di era Syafii ini juga muncul organisasi baru kaum muda Muhammadiyah berlatar belakang liberal-progresif bernama JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah).
Ketika itu, kemunculan JIMM kerap disebut sebagai ekspresi kecemburuan melihat wajah Nahdlatul Ulama (NU) yang, walau beraliran Islam tradisionalis, justru lebih tampil lebih progresif. Kaum muda NU banyak melahirkan ide baru di berbagai lembaga, seperti LKIS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), JIL (Jaringan Islam Liberal), Lakpesdam NU, atau P3M. Sedangkan Muhammadiyah, yang notabene menyandang julukan sebagai organisasi "Islam pembaharu", justru terlihat stagnan.
Namun, pasca-Syafii, ide-ide konservatif makin kuat. Salah satu peristiwa unik yang sempat jadi berita di berbagai media massa ketika itu adalah munculnya stan "Pojok Anti-Liberal" di ajang Muktamar ke-45. Stan itu menjual berbagai "produk" anti-liberal, seperti buku-buku ulama konservatif, VCD, T-shirt bertulisan "Muhammadiyah Anti-Liberal", juga berbagai jurnal dan majalah (termasuk majalah Tabligh).
Terlebih, dalam pemungutan suara di mukmatar, nama-nama kader Muhammadiyah yang kerap diposisikan sebagai kubu liberal, seperti Abdul Munir Mulkan dan Amin Abdullah, justru terpental. Kegagalan para tokoh pemikir ini masuk ke jajaran formatur dianggap sebagai bentuk kemenangan faksi konservatif di Muhammadiyah.
Dalam mukmatar berikutnya di Yogyakarta pada 2010, Din Syamsuddin kembali terpilih sebagai ketua umum --suara pihak konservatif tetap kuat. Bahkan, yang agak mengejutkan, Din Syamsuddin yang selama ini cenderung diposisikan agak di tengah justru mulai dilihat makin dekat ke kubu liberal. Suara konservatif pun kian keras, bahkan bernada menghujat. Misalnya tulisan Mulyadi Abdul Gani, Wakil Sekretaris Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus, yang berjudul "Muktamar Muhammadiyah Jangan Pilih Tokoh Pro-Kristenisasi".
Artikel yang tadinya dimuat di situs voa-islam.com, lalu dipublikasikan ulang di situs Muhammadiyahstudies.blogspot, itu dengan keras menyebut adanya "oknum-oknum" di dalam Muhammadiyah yang pro-Kristenisasi. Oknum yang disebut, misalnya, Din Syamsuddin, Dawam Rahardjo, lalu Syafii Maarif.
Bagi yang tidak memahami ketegangan faksi konservatif versus liberal di Muhammadiyah bisa jadi akan terkejut membaca bagaimana salah satu pengurus di organ Muhammadiyah bisa menuding seorang mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, satu lagi masih aktif, sebagai oknum pro-Kristenisasi.
Namun memang sekeras itulah dinamika pemikiran konservatif versus liberal di Muhammadiyah. Dinamika ini pula yang coba diurai dalam konferensi internasional yang diadakan untuk memperingati 100 tahun Muhammadiyah itu.
***
Dari segi tema, IRCM memang tidak sekadar membahas soal konservatisme versus liberalisme. Panitia menyodorkan delapan sesi, yakni sejarah, filantropi, pendidikan, pembaruan, politik, isu perempuan, pemuda dan radikalisme, serta Muhammadiyah studies. Sebanyak 33 peneliti, baik dari dalam maupun luar negeri, mempresentasikan makalah berdasarkan kompetensi mereka masing-masing di salah satu dari delapan tema besar tersebut.
Sesi politik yang dipandu pengamat politik dari CSIS, Rizal Sukma, misalnya, menyoroti peran Partai Amanat Nasional (PAN) dan kaitannya dengan Muhammadiyah. Dalam sesi diskusi, terungkap betapa sebenarnya warga Muhammadiyah mendukung Amien Rais saat mendeklarasikan PAN pada 1998.
Namun keterkaitan itu tidak formal. Sayangnya, menurut Rizal, ada beberapa kalangan di lingkaran dalam Amien Rais yang justru berusaha menarik Syafii Maarif --ketika itu menjadi ketua umum-- untuk lebih terlihat mendukung PAN sebagai partai politik, tidak cuma sosok Amien Rais pribadi.
Tapi manuver untuk menarik Syafii agar terlihat lebih visible mendukung PAN itu justru langkah blunder. Sebab Syafii justru menolak terlalu dekat dan lebih mempertahankan independensi Muhammadiyah dari pengaruh partai politik. Syafii bahkan menolak ketika diundang untuk menghadiri acara-acara pembukaan PAN. Akibatnya, dukungan informal yang tadinya sudah solid itu malah melemah karena diwarnai suasana tidak enak. Tapi Rizal berpendapat, Syafii telah melakukan hal yang benar dengan mempertahankan independensi Muhammadiyah.
Syafii sendiri, yang juga hadir dalam presentasi itu, cuma berkomentar singkat. "Kami sebenarnya sudah mendukung, tapi sepertinya masih dirasa kurang. Saya diminta datang ke acara-acara pembukaan (PAN), ya, saya tidak mau," katanya.
Pembahasan soal politik akhirnya juga menyinggung Partai Keadilan Sejahtera (PKSI). Paper Syaifudin Zuhri, dosen UIN Yogyakarta, dengan bagus menjelaskan bagaimana konflik terjadi antara Muhammadiyah dan PKS. Kasus yang dijadikan contoh adalah perebutan Masjid Al-Muttaqun di Prambanan pada 2006. Kasus ini pun melibatkan sosok Hidayat Nur Wahid, tokoh PKS yang juga aktivis Muhammadiyah.
Al-Muttaqun adalah nama sebuah masjid yang tadinya secara tradisional dikelola Muhammadiyah. Tapi, pasca-gempa bumi di Yogyakarta pada Mei 2006, masjid itu terkenal justru karena jadi ajang pertempuran politik Muhammadiyah versus PKS.
Masalah dimulai ketika PKS membuka posko gempa di dekat Masjid Al-Muttaqun. Tapi posko kemanusiaan itu kemudian berkembang jadi tempat rekrutmen kader PKS, lewat aktivitas "mabit" (malam bina iman dan takwa) serta liqo (pertemuan). Mabit dan liqo adalah aktivitas keagamaan semacam mentoring. Bisa juga dibilang semacam majelis taklim versi mini. Karena itu, acara tersebut diadakan di masjid. Namun mabit dan liqo PKS biasanya juga memasukkan agenda visi dan misi partai. Ini terjadi karena memperjuangkan Islam kerap dimaknai tidak bisa melepaskan diri dari politik praktis.
Kemenangan PKS dalam perebutan Masjid Al-Muttaqun makin terlihat ketika kian banyak aktivis PKS (yang juga aktivis Muhammadiyah) duduk dalam kepengrusan takmir masjid. Puncaknya, status pengelolaan Masjid Al-Muttaqun dialihkan ke sebuah yayasan bernama Yayasan Al-Muttaqun, dengan Hidayat Nur Wahid sebagai ketua dewan pembinanya.
Peristiwa ini memang mengundang kegemparan di kalangan aktivis Muhammadiyah di Yogyakarta. PP Muhammadiyah segera mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 149/Kep/I.0/B/2006 tentang Kebijakan PP Muhammadiyah mengenai Konsolidasi Organisasai dan Amal Usaha Muhammadiyah.
SK tertanggal 1 Oktober 2006 itu secara eksplisit menyebutkan bahwa PKS yang mengklaim memiliki misi dakwah adalah benar-benar sebuah partai politik dan berorientasi meraih kekuasaan politik. Karena itu, kader Muhammadiyah dilarang menggunakan semua institusi dalam persyarikatan Muhammadiyah, termasuk amal usaha, masjid, dan musala, untuk kepentingan partai politik.
Syaifudin menulis, meski PKS mengklaim bahwa Masjid Al-Muttaqun terbuka untuk umat Islam, faktanya takmir Masjid Al-Muttaqun, bahkan para khatib Jumat, tidak lagi diisi oleh orang-orang Muhammadiyah.
Di tingkat lokal, pengambilalihan masjid ini berdampak negatif. Banyak aktivis Muhammadiyah di Yogyakara menyatakan "perang" terhadap PKS. Kepengurusan Muhammadiyah Cabang Klaten bahkan segera melakukan aksi "bersih-bersih", yakni membersihkan kepengurusan Muhammadiyah dari orang-orang yang dianggap sebagai anggota PKS.
Rahmawati Husein, dosen UIN Yogyakarta sekaligus Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), mengatakan bahwa peristiwa itu membuat marah para aktivis Muhammadiyah dan semangat "perang" memang muncul. "Semangatnya waktu itu, kita lawan habis-habisan," tuturnya.
Meski demikian, peristiwa itu juga memiliki dampak positif. Menurut Syaifudin, setelah peristiwa itu, pengurus Muhammadiyah Cabang Klaten segera intens melakukan aksi perlindungan. Dari "palangisasi" (melabeli masjid sebagai masjid Muhammadiyah), mengirim para aktivis Muhammadiyah untuk mengikuti berbagai pelatihan mengenai pengelolaan masjid, sampai menjadikan penerbitan akta notaris terhadap aset-aset Muhammadiyah sebagai program resmi.
***
Namun medan pertempuran politik tidak cuma terjadi di masjid, melainkan juga di kampus. Bahkan lawan Muhammadiyah di kampus tidak melulu terbatas partai politik, melainkan juga organisasi atau ideologi lain.
Hal itu, antara lain, disampaikan Rahmawati. Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini bercerita, kampus-kampus Muhammadiyah kini tidak selalu berarti diisi para aktivis Muhammadiyah. "Bahkan dosen yang tadinya aktivis Muhammadiyah bisa dibilang sedikit," katanya.
Menurut Rahmawati, salah satu penyebabnya adalah kualias sumber daya manusia. Untuk jadi dosen, ada persyaratan ketat dan terkadang tidak semua aktivis Muhammadiyah berprestasi di bidang akademis. Karena itu, pihak kampus akhirnya menerima dosen yang bukan dari kalangan aktivis Muhammadiyah.
Di sinilah biasanya muncul ketegangan. Apalagi bila para dosen itu membawa ideologi masing-masing dan berusaha menyebarkannya di kampus Muhammadiyah. Penentunya, kata Rahmawati, seringkali terletak di rektor. "Apakah rektor membiarkan kampusnya jadi ajang pertarungan berbagai ideologi itu atau menjaga kampus Muhammadiyah tetap steril," ujarnya.
Dalam kasus ekstrem, seorang dosen bahkan bisa terdepak karena perbedaan ideologi ini. Hal ini, misalnya, disampaikan Azyumardi Azra, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah. Di depan forum, Azyumardi menceritakan pengalamannya bagaimana ia akhirnya terdepak dari jajaran staf di Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo. Penyebabnya, menurut Azyumardi, sang direktur program pascasarjana itu adalah alumnus Arab Saudi dan tidak sreg dengan pemikiran-pemikirannya. "Bagi dia, saya dianggap terlalu liberal," katanya.
Di tingkat mahasiswa, ketegangan serupa terjadi. Rahmawati mencontohkan bagaimana saat ini banyak kampus Muhammadiyah berisi mahasiswa yang juga tidak sealiran dengan gagasan-gagasan Muhammadiyah. "Kalau Anda perhatikan, saat ini di kampus-kampus Muhammadiyah sudah banyak mahasiswi yang pakai cadar," ungkapnya.
Pendapat Rahmawati itu berkesesuaian dengan hasil penelitian Jamhari Makruf tentang organisasi mahasiswa Muhammadiyah. Jamhari yang melakukan penelitian di sejumlah universitas umum mendapati bahwa Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) kalah laku dibandingkan dengan organisasi lainnya.
Hal itu terutama terlihat dari jumlah kader di kampus tersebut. Di berbagai kampus, IMM sering menempati posisi bawah. Posisi atas biasanya diisi LDK (Lembaga Dakwah Kampus) yang dekat dengan PKS, Himpunan Mahasiswa Islam, atau PMII yang dekat dengan NU. "Sebagai organisasi mahasiswa, IMM sangat lemah," katanya.
***
Sesi terakhir yang paling banyak menyedot diskusi adalah soal radikalisme yang membayangi kaum muda Muhammadiyah. Tema ini dikupas secara mendalam oleh Pradana Boy, dosen Universitas Muhammadiyah Malang.
Isu radikalisme di Muhammadiyah memang marak menjelang peringatan 100 abad ini, terutama setelah Amrozi dan Ali Imron, pengebom Bali I, kerap diberitakan pernah mengenyam pendidikan di sekolah Muhammadiyah.
Namun sebelumnya perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan radikalisme itu. Secara sederhana, radikalisme bisa didefinisikan sebagai "orang-orang seperti Amrozi", yakni mereka yang melakukan perjuangan politik dengan cara-cara teror atas nama agama.
Pradana juga memberikan batasan spesifik lain. Yakni perjuangan politik itu dilakukan dengan tujuan "menegakkan terbentuknya negara Islam dan formalisasi syariat Islam sebagai hukum positif".
Terkait dengan negara Islam ini, Muhammadiyah sudah jelas memiliki pandangan tersendiri. Sikap resmi Muhammadiyah mengenai isu negara Islam bahkan bisa dibilang sudah tegas. Syafii Maarif, misalnya, sering menyatakan bahwa Pancasila sudah memadai untuk mengakomodasi nilai-nilai Islam. Syafii bahkan termasuk pihak yang tidak suka dengan kecenderungan formalisasi lewat perda-perda berbau syariat.
Pandangan yang lebih-kurang senada pernah disampaikan Din Syamsuddin. Di beberapa forum publik, misalnya, Din menandaskan bahwa Pancasila sebagai dasar negara RI sudah final dan tidak perlu dipersoalkan lagi.
Posisi RI sebagai "negara Pancasila" dan bukannya "negara Islam" itu sebenarnya juga bisa berdampak positif bagi pelaksanaan syariat itu sendiri karena memberikan ruang independensi. Sebagai contoh, ketika Ramadan 2012 Muhammadiyah metetapkan dimulainya Ramadan lebih awal, dan berbeda dari penetapan pemerintah, sempat terdengar imbauan agar Muhammadiyah mengikuti pemerintah (dalam hal ini Departemen Agama) untuk penentuan awal puasa, dengan argumen bahwa pemerintah adalah ulil amri.
Din termasuk yang tidak sependapat dengan logika itu. Muhammadiyah berhak menentukan sendiri kapan awal puasa dan pemerintah sebaiknya tidak memaksakan penyeragaman. "Kalau dikatakan pertimbangannya karena pemerintah adalah ulil amri, mohon maaf, kami tidak sependapat. Ini bukan negara Islam. Alasan harus dipatuhi karena ulil amri justru batal demi hukum," katanya di kantor Muhammadiyah, bulan puasa lalu.
Meski sikap Muhammadiyah mengenai Pancasila sudah tegas, di kalangan pemuda Muhammadiyah tetap saja ada pihak yang masih menganggap perlunya formalisasi syariat Islam. Ini terlihat dari wawancara Pradana dengan beberapa aktivis Muhammadiyah di kawasan Lamongan, Jawa Timur, yang jadi lokasi penelitiannya.
Mengapa ada fenomena seperti itu? Menurut Pradana, ini terjadi karena ada garis persinggungan antara ideologi Muhammadiyah dan ideologi kelompok Islam radikal. Sejarahnya bisa dimulai sejak Muhammadiyah didirikan KH Ahmad Dahlan.
Penelitian Pradana menjelaskan bahwa KH Ahmad Dahlan mengadopsi ijtihad dan ittibasebagai dasar dalam ideologi tajdid (pembaruan) untuk melawan kondisi taklid. Kredo yang dipakai adalah "kembali ke Al-Quran dan sunah". Kredo ini dikampanyekan untuk melawan tradisionalisme dan unsur-unsur kejawen yang ketika itu marak dan bertentangan dengan ajaran Islam, kerap disingkat TBC (takhayul, bid'ah, churafat).
Namun kredo "kembali ke Al-Quran dan sunah" bisa dipahami secara berbeda. Secara positif, kredo ini berarti seseorang tidak harus bergantung pada suatu otoritas tertentu (misalnya ulama karismatis) untuk memahami Islam. Taklid, yakni kondisi "sekadar mengekor", pun terdobrak.
Tapi, di sisi lain, kredo itu juga sering dipahami secara skripturalis, yakni bahwa "kembali pada Al-Quran dan sunah" berarti memahami agama secara tekstual, yang sebenarnya justru bertolak belakang dengan ide tajdid itu sendiri.
Contohnya lagi-lagi adalah keyakinan bahwa formalisasi syariat adalah wajib untuk menegakkan Islam. Dalam pemahaman skripturalis inilah ada garis persinggungan antara Muhammadiyah dan kelompok Islam radikal.
Dua pemahaman berbeda itu tergambar dalam kisah Amrozi, pengebom Bali I, dengan kakaknya, Khozin. Walau sama-sama berasal dari keluarga Muhammadiyah, Khozin dan Amrozi/Mukhlas memiliki pemahaman sangat berbeda. Khozin justru menyalahkan pemahaman Amrozi. Bahkan terungkap bahwa Khozin beberapa kali berdebat dengan Mukhlas. Sayangnya, Amrozi lebih sependapat dengan pemahaman Mukhlas daripada Khozin.
Perlu juga ditegaskan bahwa pemahaman skripturalis sebenarnya tidak serta-merta membuat orang jadi radikal. Ia hanya memberikan potensi. Dalam contoh para pengebom Bali I, Pradana menegaskan bahwa ideologi radikalisme mereka tidak termanifestasi dari semata pemahaman skripturalis, tapi setelah mereka terlibat aktivitas perang di Afghanistan. Di sanalah radikalisme yang sebenarnya terbentuk. Ini juga untuk membantah asumsi pihak-pihak yang mengidentikkan skripturalime dengan radikalisme.
Karena itu, meski ada garis persinggungan antara potensi radikalisme dan Muhammadiyah, Pradana menegaskan, proses pendewasaan ideologi radikal itu tidak terjadi di Muhammadiyah. Selaini itu, dalam kasus Amrozi dan Ali Imron, ketika ideologi radikalisme mereka sudah matang, mereka pun tidak lagi menganggap sebagai bagian dari Muhammadiyah dan memilih berpisah dari Muhammadiyah.
***
Tantangan Muhammadiyah memang lebih banyak pada soal dakwah dan idelogi, bukan pada aktivitas bisnis. Kalau soal itu, bahkan bisa dibilang tidak ada yang membantah. Muhammadiyah adalah organisasi dengan aset sampai trilyunan rupiah, mencakup sekolah, rumah sakit, dan masih banyak lagi.
Dalam hal ideologi, Din Wahid dari UIN Syarif Hidayatullah menyebutkan bagaimana Muhammadiyah menghadapi tantangan serius dari Salafi. Ia menyodorkan hasil penelitian di wilayah Sidayu, Gresik, tempat banyak aktivis Muhammadiyah beralih ke gerakan Salafi.
Salafi dan Muhammadiyah sebenarnya memiliki kesamaan. Keduanya bersemboyan "kembali ke Al-Quran dan hadis". Keduanya juga memiliki semangat reformis dan menolak berbagai modifikasi dalam agama atau TBC (takhayul, bid'ah, churafat). Karena itu, menurut Din, wajar kalau kemudian banyak anggota Muhammadiyah yang tertarik bergabung dengan gerakan Salafi.
Dalam kasus di Sidayu, friksi bisa dimulai ketika guru di sekolah Muhammadiyah beralih ke Salafi dan justru menyebarluaskan gagasan itu kepada murid-muridnya. Salah satu contoh yang disebut Din terjadi di era 1980-an, ketika seorang tenaga pengajar di Perguruan Muhammadiyah beraliran Salafi mengajari para siswa untuk tidak menghormat bendera Merah-Putih dan tidak memajang foto KH Ahmad Dahlan di dinding kelas. Hal ini membuat siswa jadi malas mengikuti upacara dan akhirnya menimbulkan ketegangan dengan pihak sekolah.
Ketika tenaga pengajar itu, seorang alumnus PGA (Pendikan Guru Agama) Muhammadiyah, akhirnya diberhentikan dari jabatannya, yang bersangkutan kemudian mendirikan pondok pesantren di wilayah Sidayu dan mulai mendapatkan pengikut.
Setelah itu, kian banyak bermunculan pesantren di Sidayu yang didirikan oleh Salafi, yang kebanyakan juga pernah mengeyam pendidikan awal di Muhammadiyah. Ketegangan kecil mulai terjadi, terutama dengan kalangan NU. Misalnya, para ulama NU sepakat agar masjid besar Sidayu, yakni Masjid Kanjeng Sepuh, menjadi standar dalam hal azan. Jadi, musala atau masjid-masjid lain yang lebih kecil diharap tidak mengumandangkan azan lebih dulu sebelum Masjid Kanjeng Sepuh.
Tapi suatu kali, saat bulan puasa, sebuah pesantren Salafi mengumandangkan azan magrib lebih dulu ketimbang Masjid Kanjeng Sepuh. Hal ini membuat warga muslim bingung hingga para ulama NU mengajukan protes.
Din mencatat, puncak ketegangan terjadi pada 1994, ketika seorang santri di pesantren Salafi merusak makam Kanjeng Sepuh (ini nama Adipati Sidayu) yang berlokasi di kompleks Masjid Kanjeng Sepuh. Makam itu memang kerap dikunjungi umat Islam dan kadang ada yang berdoa dengan meminta perantara (wasilah).
Wasilah memang isu sensitif. Muhammadiyah tidak mengakui wasilah. Orang bisa langsung berdoa kepada Allah tanpa melalui perantara. Sedangkan NU membolehkan wasilah. Di situs resmi NU, nu.or.id, misalnya, dalam tanya-jawab soal wasilah disebutkan berbagai dalil, baik dari Al-Quran maupun hadis, mengenai dasar diperbolehkannya wasilah.
Namun Salafi (juga Muhammadiyah) menolak wasilah dan melihatnya sebagai perbuatan syirik (menyekutukan Allah). Karena itulah, si santri tadi merusak makam Kanjeng Sepuh, karena di sana banyak orang yang datang untuk ber-wasilah.
Din mencatat, peristiwa itu hampir saja berujung aksi fisik, karena warga yang marah oleh aksi perusakan makam itu segera memobiliasi diri dan hendak membakar pesantren. Polisi pun turun tangan. Pesantren itu akhirnya ditutup polisi untuk meredakan amuk warga.
Meski demikian, setelah insiden itu, tetap ada pengikut Salafi yang menjadi tenaga pengajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Para pengikut Salafi pun menggunakan musala-musala Muhammadiyah untuk kegiatan majelis taklim atau pengajian mereka.
Dipaparkan Din, sebagian aktivis Muhammadiyah di Sidayu memang tidak memiliki masalah dengan doktrin-doktrin Salafi. Ketua Muhammadiyah Sidayu, misalnya, meski bukan pengikut Salafi, memanjangkan jenggotnya dan tidak mengenakan celana di bawah mata kaki (isbal) serta menganggap bahwa Muhammadiyah dan Salafi bisa sama-sama memerangi TBC (takhayul, bid'ah, churafat).
Ada dua catatan menarik Din tentang fenomena Salafi di Sidayu ini. Pertama, Muhammadiyah terlihat sudah meninggalkan metode dakwah konvensional --grup-grup kecil biasanya berkumpul, lalu mendengarkan ceramah atau berdiskusi dengan guru. Kurangnya metode dakwah konvensional inilah yang akhirnya membuat para aktivis Muhammadiyah tertarik dan beralih ke gerakan lain.
Di bagian lain juga disebutkan mengapa pengikut Salafi diperbolehkan menggunakan musala-musala yang dikelola Muhammadiyah di Sidayu untuk aktivitas pengajian (mungkin saja sekaligus rekrutmen). Salah satu sebabnya, agar musala itu tidak kekurangan aktivitas.
Sedangkan poin kedua, menurut Din, Muhammadiyah harus kembali memikirkan posisinya dalam reformasi Islam. Sebab Salafi memunculkan tantangan serius terhadap Muhammadiyah. Tantangan itu tidak secara keorganisasian atau pengelolaan aset, tapi terutama tantangan secara ideologi.
Namun tantangan itu akan sulit dijawab, karena selama ini Muhammadiyah kekurangan stok ulama yang berotoritas di bidang ilmu-ilmu klasik Islam, seperti fikih, hadis, atau tafsir. Padahal, demand dalam bentuk semangat para kaum muda untuk makin mendalami Islam sangat tinggi. Kurangnya para ulama ilmu klasik di Muhammadiyah inilah yang juga membuat banyak remaja atau kaum muda Muhammadiyah tertarik ke Salafi.
Poin kedua dalam paper Din itu memang selama konferensi beberapa kali disampaikan pembicara lain. Ahmad Muttaqin, dosen UIN Yogyakarta, dalam makalahnya tentang Muhammadiyah studies, juga mengkritik hal yang lebih-kurang sejenis.
Kritik Muhammadiyah terhadap masalah kemiskinan, misalnya, diatasi dengan pendirian panti asuhan. Kritik terhadap dikotomi sistem pendidikan sekuler dan Islam diatasi dengan penggabungan keduanya di sekolah Muhammadiyah. Tapi, mengapa kritik terhadap TBC (takhayul, bid'ah, churafat) tidak diimbangi dengan pengembangan kanal spiritual yang legitimatif?
Padahal, saat ini pangsa "market spiritual" sangat besar. Ketiadaan kanal spiritual di internal Muhammadiyah inilah yang akhirnya membuat warga Muhammadiyah mencari "produk spiritual" yang tersedia saja, walau bahkan terkadang meragukan keabsahannya. Muttaqin lalu mencontohkan warga Muhammadiyah yang terlibat aktivitas yoga spiritual, zikir untuk penyembuhan, kursus salat khusyuk, dan sebagainya. Menurut dia, Muhammadiyah harus mengatasi kelemahan dalam pengembangan kanal spiritual ini.
Dengan berbagai kelemahan itu, tidak mengherankan kalau para sarjana asing yang meneliti Muhammadiyah makin bersuara tajam mengenai Muhammadiyah. Ungkapan jujur datang dari Amin Abdullah, mantan Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, yang mengutip pendapat Prof. Mitsuo Nakamura, penulis buku The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in Central Javanese Town (1983), bahwa dengan kondisi saat ini, "peran pelopor bagi Muhammadiyah tidak bisa dipertahankan lagi".
Namun, di usia 100 tahun, Muhammadiyah masih punya jalan panjang. Selain itu, dengan konferensi riset internasional ini, di mana berbagai kelemahan atau fenomena di dalam tubuh Muhammadiyah dianalisis panjang lebar, Muhammadiyah justru akan makin menemukan format tajdid (pembaruan) untuk zaman ini.
Basfin Siregar
http://arsip.gatra.com/2012-12-31/majalah/artikel.php?pil=23&id=153320
Konferensi riset internasional digelar menyambut 100 tahun usia Muhammadiyah. Radikalisme kaum muda dan politik jadi isu utama. Mencuat juga isu hangat fenomena gerakan konservatisme versus liberalisme, gesekan Muhammadiyah dengan Salafi di tataran ideologi, dan Muhammadiyah dengan Partai Keadilan Sejahtera di ranah politik. Tantangan Muhammadiyah lebih banyak pada soal dakwah dan idelogi?
"Sosialisasi Poligami di Kalangan Muhammadiyah". Begitulah sepenggal judul berita di majalah Tabligh edisi tahun 2003. Isinya tentang Puspo Wardoyo, pelaku poligami yang juga pengusaha restoran ayam bakar Wong Solo, yang akan diundang ke kantor Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah di Jakarta untuk bicara soal poligami.
Judul tersebut memang agak provokatif. Sebab terkesan bahwa Muhammadiyah mengampanyekan poligami. Tapi majalah Tabligh memang khas. Majalah bulanan terbitan Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus (MDTK) Muhammadiyah, Jakarta, itu sudah lama terkenal akan artikel-artikelnya yang bernada agresif. Beberapa judul lain, misalnya, "Ulil Abshar Menghujat Islam" atau "Hermeneutika Nodai Al-Quran".
Dibandingkan dengan "kakaknya" yang lebih dulu terbit, yakni majalah Suara Muhammadiyah, nuansa ideologi majalah Tabligh memang terasa lebih keras. Tidak mengherankan kalau Prof. Dawam Rahardjo, mantan pengurus PP Muhammadiyah, pernah menyebut majalah Tabligh sebagai "sarang konservatisme" di Muhammadiyah.
Fenomena majalah Tabligh adalah salah satu topik yang mencuat dalam konferensi riset internasional tentang Muhammadiyah (International Research Conference on Muhammadiyah--IRCM), yang diadakan di Universitas Muhammadiyah Malang, awal Desember lalu.
Topik itu disinggung Jamhari Makruf, dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ia meneliti edisi majalah Tabligh selama tahun 2011 dan mendapati kecenderungan agresif media tersebut. Ini terlihat, antara lain, dari tiga tema yang pernah muncul: yakni Kristenisasi, anti-toleransi, dan kasus dukungan terhadap pelarangan gereja di Yogyakarta. "Kalau orang baca artikelnya saja tanpa lihat cover majalahnya, mungkin disangka ini majalah Sabili," kata Jamhari.
Soal dukungan terhadap pelarangan gereja itu memang agak anomali. Sebab selama ini Muhammadiyah tidak terkesan "garang" dalam soal hubungan antar-agama. Ketua PP Muhammadiyah saat ini, Din Syamsuddin, bahkan berbeda pendapat dengan MUI soal fatwa "haram mengucapkan selamat Natal". Dalam beberapa kali pernyataannya, Din mengaku terbiasa memberikan ucapan selamat Natal. Ia juga menghadiri perayaan Natal bersama dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Muhammadiyah.
Namun majalah Tabligh memang beda. Walau diterbitkan oleh organ resmi Muhammadiyah, majalah ini memiliki garis kebijakan redaksional tersendiri yang tidak harus sama dengan pendapat Ketua Umum Muhammadiyah. Mengingat popularitasnya yang cukup kuat di kalangan Muhammadiyah, Jamhari pun mengajukan pertanyaan menggelitik, "Apakah [karakter majalah] ini merupakan identitas Muhammadiyah sekarang?" tanyanya.
***
Konservatisme sebenarnya memang bukan hal baru di Muhammadiyah. Terutama sejak Muktamar ke-45 (2005) yang berlangsung di Malang --dan menjadikan Din Syamsuddin sebagai ketua umum-- ide-ide konservatisme makin kuat.
Sekadar catatan, sebelum era Din Syamsuddin, Muhammadiyah dipimpin oleh Syafii Maarif yang justru terkenal sebagai tokoh pluralisme. Di era inilah Muhammadiyah tampil sebagai "the smiling Islam", Islam yang berwajah ramah. Di era Syafii ini juga muncul organisasi baru kaum muda Muhammadiyah berlatar belakang liberal-progresif bernama JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah).
Ketika itu, kemunculan JIMM kerap disebut sebagai ekspresi kecemburuan melihat wajah Nahdlatul Ulama (NU) yang, walau beraliran Islam tradisionalis, justru lebih tampil lebih progresif. Kaum muda NU banyak melahirkan ide baru di berbagai lembaga, seperti LKIS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), JIL (Jaringan Islam Liberal), Lakpesdam NU, atau P3M. Sedangkan Muhammadiyah, yang notabene menyandang julukan sebagai organisasi "Islam pembaharu", justru terlihat stagnan.
Namun, pasca-Syafii, ide-ide konservatif makin kuat. Salah satu peristiwa unik yang sempat jadi berita di berbagai media massa ketika itu adalah munculnya stan "Pojok Anti-Liberal" di ajang Muktamar ke-45. Stan itu menjual berbagai "produk" anti-liberal, seperti buku-buku ulama konservatif, VCD, T-shirt bertulisan "Muhammadiyah Anti-Liberal", juga berbagai jurnal dan majalah (termasuk majalah Tabligh).
Terlebih, dalam pemungutan suara di mukmatar, nama-nama kader Muhammadiyah yang kerap diposisikan sebagai kubu liberal, seperti Abdul Munir Mulkan dan Amin Abdullah, justru terpental. Kegagalan para tokoh pemikir ini masuk ke jajaran formatur dianggap sebagai bentuk kemenangan faksi konservatif di Muhammadiyah.
Dalam mukmatar berikutnya di Yogyakarta pada 2010, Din Syamsuddin kembali terpilih sebagai ketua umum --suara pihak konservatif tetap kuat. Bahkan, yang agak mengejutkan, Din Syamsuddin yang selama ini cenderung diposisikan agak di tengah justru mulai dilihat makin dekat ke kubu liberal. Suara konservatif pun kian keras, bahkan bernada menghujat. Misalnya tulisan Mulyadi Abdul Gani, Wakil Sekretaris Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus, yang berjudul "Muktamar Muhammadiyah Jangan Pilih Tokoh Pro-Kristenisasi".
Artikel yang tadinya dimuat di situs voa-islam.com, lalu dipublikasikan ulang di situs Muhammadiyahstudies.blogspot, itu dengan keras menyebut adanya "oknum-oknum" di dalam Muhammadiyah yang pro-Kristenisasi. Oknum yang disebut, misalnya, Din Syamsuddin, Dawam Rahardjo, lalu Syafii Maarif.
Bagi yang tidak memahami ketegangan faksi konservatif versus liberal di Muhammadiyah bisa jadi akan terkejut membaca bagaimana salah satu pengurus di organ Muhammadiyah bisa menuding seorang mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, satu lagi masih aktif, sebagai oknum pro-Kristenisasi.
Namun memang sekeras itulah dinamika pemikiran konservatif versus liberal di Muhammadiyah. Dinamika ini pula yang coba diurai dalam konferensi internasional yang diadakan untuk memperingati 100 tahun Muhammadiyah itu.
***
Dari segi tema, IRCM memang tidak sekadar membahas soal konservatisme versus liberalisme. Panitia menyodorkan delapan sesi, yakni sejarah, filantropi, pendidikan, pembaruan, politik, isu perempuan, pemuda dan radikalisme, serta Muhammadiyah studies. Sebanyak 33 peneliti, baik dari dalam maupun luar negeri, mempresentasikan makalah berdasarkan kompetensi mereka masing-masing di salah satu dari delapan tema besar tersebut.
Sesi politik yang dipandu pengamat politik dari CSIS, Rizal Sukma, misalnya, menyoroti peran Partai Amanat Nasional (PAN) dan kaitannya dengan Muhammadiyah. Dalam sesi diskusi, terungkap betapa sebenarnya warga Muhammadiyah mendukung Amien Rais saat mendeklarasikan PAN pada 1998.
Namun keterkaitan itu tidak formal. Sayangnya, menurut Rizal, ada beberapa kalangan di lingkaran dalam Amien Rais yang justru berusaha menarik Syafii Maarif --ketika itu menjadi ketua umum-- untuk lebih terlihat mendukung PAN sebagai partai politik, tidak cuma sosok Amien Rais pribadi.
Tapi manuver untuk menarik Syafii agar terlihat lebih visible mendukung PAN itu justru langkah blunder. Sebab Syafii justru menolak terlalu dekat dan lebih mempertahankan independensi Muhammadiyah dari pengaruh partai politik. Syafii bahkan menolak ketika diundang untuk menghadiri acara-acara pembukaan PAN. Akibatnya, dukungan informal yang tadinya sudah solid itu malah melemah karena diwarnai suasana tidak enak. Tapi Rizal berpendapat, Syafii telah melakukan hal yang benar dengan mempertahankan independensi Muhammadiyah.
Syafii sendiri, yang juga hadir dalam presentasi itu, cuma berkomentar singkat. "Kami sebenarnya sudah mendukung, tapi sepertinya masih dirasa kurang. Saya diminta datang ke acara-acara pembukaan (PAN), ya, saya tidak mau," katanya.
Pembahasan soal politik akhirnya juga menyinggung Partai Keadilan Sejahtera (PKSI). Paper Syaifudin Zuhri, dosen UIN Yogyakarta, dengan bagus menjelaskan bagaimana konflik terjadi antara Muhammadiyah dan PKS. Kasus yang dijadikan contoh adalah perebutan Masjid Al-Muttaqun di Prambanan pada 2006. Kasus ini pun melibatkan sosok Hidayat Nur Wahid, tokoh PKS yang juga aktivis Muhammadiyah.
Al-Muttaqun adalah nama sebuah masjid yang tadinya secara tradisional dikelola Muhammadiyah. Tapi, pasca-gempa bumi di Yogyakarta pada Mei 2006, masjid itu terkenal justru karena jadi ajang pertempuran politik Muhammadiyah versus PKS.
Masalah dimulai ketika PKS membuka posko gempa di dekat Masjid Al-Muttaqun. Tapi posko kemanusiaan itu kemudian berkembang jadi tempat rekrutmen kader PKS, lewat aktivitas "mabit" (malam bina iman dan takwa) serta liqo (pertemuan). Mabit dan liqo adalah aktivitas keagamaan semacam mentoring. Bisa juga dibilang semacam majelis taklim versi mini. Karena itu, acara tersebut diadakan di masjid. Namun mabit dan liqo PKS biasanya juga memasukkan agenda visi dan misi partai. Ini terjadi karena memperjuangkan Islam kerap dimaknai tidak bisa melepaskan diri dari politik praktis.
Kemenangan PKS dalam perebutan Masjid Al-Muttaqun makin terlihat ketika kian banyak aktivis PKS (yang juga aktivis Muhammadiyah) duduk dalam kepengrusan takmir masjid. Puncaknya, status pengelolaan Masjid Al-Muttaqun dialihkan ke sebuah yayasan bernama Yayasan Al-Muttaqun, dengan Hidayat Nur Wahid sebagai ketua dewan pembinanya.
Peristiwa ini memang mengundang kegemparan di kalangan aktivis Muhammadiyah di Yogyakarta. PP Muhammadiyah segera mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 149/Kep/I.0/B/2006 tentang Kebijakan PP Muhammadiyah mengenai Konsolidasi Organisasai dan Amal Usaha Muhammadiyah.
SK tertanggal 1 Oktober 2006 itu secara eksplisit menyebutkan bahwa PKS yang mengklaim memiliki misi dakwah adalah benar-benar sebuah partai politik dan berorientasi meraih kekuasaan politik. Karena itu, kader Muhammadiyah dilarang menggunakan semua institusi dalam persyarikatan Muhammadiyah, termasuk amal usaha, masjid, dan musala, untuk kepentingan partai politik.
Syaifudin menulis, meski PKS mengklaim bahwa Masjid Al-Muttaqun terbuka untuk umat Islam, faktanya takmir Masjid Al-Muttaqun, bahkan para khatib Jumat, tidak lagi diisi oleh orang-orang Muhammadiyah.
Di tingkat lokal, pengambilalihan masjid ini berdampak negatif. Banyak aktivis Muhammadiyah di Yogyakara menyatakan "perang" terhadap PKS. Kepengurusan Muhammadiyah Cabang Klaten bahkan segera melakukan aksi "bersih-bersih", yakni membersihkan kepengurusan Muhammadiyah dari orang-orang yang dianggap sebagai anggota PKS.
Rahmawati Husein, dosen UIN Yogyakarta sekaligus Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), mengatakan bahwa peristiwa itu membuat marah para aktivis Muhammadiyah dan semangat "perang" memang muncul. "Semangatnya waktu itu, kita lawan habis-habisan," tuturnya.
Meski demikian, peristiwa itu juga memiliki dampak positif. Menurut Syaifudin, setelah peristiwa itu, pengurus Muhammadiyah Cabang Klaten segera intens melakukan aksi perlindungan. Dari "palangisasi" (melabeli masjid sebagai masjid Muhammadiyah), mengirim para aktivis Muhammadiyah untuk mengikuti berbagai pelatihan mengenai pengelolaan masjid, sampai menjadikan penerbitan akta notaris terhadap aset-aset Muhammadiyah sebagai program resmi.
***
Namun medan pertempuran politik tidak cuma terjadi di masjid, melainkan juga di kampus. Bahkan lawan Muhammadiyah di kampus tidak melulu terbatas partai politik, melainkan juga organisasi atau ideologi lain.
Hal itu, antara lain, disampaikan Rahmawati. Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini bercerita, kampus-kampus Muhammadiyah kini tidak selalu berarti diisi para aktivis Muhammadiyah. "Bahkan dosen yang tadinya aktivis Muhammadiyah bisa dibilang sedikit," katanya.
Menurut Rahmawati, salah satu penyebabnya adalah kualias sumber daya manusia. Untuk jadi dosen, ada persyaratan ketat dan terkadang tidak semua aktivis Muhammadiyah berprestasi di bidang akademis. Karena itu, pihak kampus akhirnya menerima dosen yang bukan dari kalangan aktivis Muhammadiyah.
Di sinilah biasanya muncul ketegangan. Apalagi bila para dosen itu membawa ideologi masing-masing dan berusaha menyebarkannya di kampus Muhammadiyah. Penentunya, kata Rahmawati, seringkali terletak di rektor. "Apakah rektor membiarkan kampusnya jadi ajang pertarungan berbagai ideologi itu atau menjaga kampus Muhammadiyah tetap steril," ujarnya.
Dalam kasus ekstrem, seorang dosen bahkan bisa terdepak karena perbedaan ideologi ini. Hal ini, misalnya, disampaikan Azyumardi Azra, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah. Di depan forum, Azyumardi menceritakan pengalamannya bagaimana ia akhirnya terdepak dari jajaran staf di Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo. Penyebabnya, menurut Azyumardi, sang direktur program pascasarjana itu adalah alumnus Arab Saudi dan tidak sreg dengan pemikiran-pemikirannya. "Bagi dia, saya dianggap terlalu liberal," katanya.
Di tingkat mahasiswa, ketegangan serupa terjadi. Rahmawati mencontohkan bagaimana saat ini banyak kampus Muhammadiyah berisi mahasiswa yang juga tidak sealiran dengan gagasan-gagasan Muhammadiyah. "Kalau Anda perhatikan, saat ini di kampus-kampus Muhammadiyah sudah banyak mahasiswi yang pakai cadar," ungkapnya.
Pendapat Rahmawati itu berkesesuaian dengan hasil penelitian Jamhari Makruf tentang organisasi mahasiswa Muhammadiyah. Jamhari yang melakukan penelitian di sejumlah universitas umum mendapati bahwa Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) kalah laku dibandingkan dengan organisasi lainnya.
Hal itu terutama terlihat dari jumlah kader di kampus tersebut. Di berbagai kampus, IMM sering menempati posisi bawah. Posisi atas biasanya diisi LDK (Lembaga Dakwah Kampus) yang dekat dengan PKS, Himpunan Mahasiswa Islam, atau PMII yang dekat dengan NU. "Sebagai organisasi mahasiswa, IMM sangat lemah," katanya.
***
Sesi terakhir yang paling banyak menyedot diskusi adalah soal radikalisme yang membayangi kaum muda Muhammadiyah. Tema ini dikupas secara mendalam oleh Pradana Boy, dosen Universitas Muhammadiyah Malang.
Isu radikalisme di Muhammadiyah memang marak menjelang peringatan 100 abad ini, terutama setelah Amrozi dan Ali Imron, pengebom Bali I, kerap diberitakan pernah mengenyam pendidikan di sekolah Muhammadiyah.
Namun sebelumnya perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan radikalisme itu. Secara sederhana, radikalisme bisa didefinisikan sebagai "orang-orang seperti Amrozi", yakni mereka yang melakukan perjuangan politik dengan cara-cara teror atas nama agama.
Pradana juga memberikan batasan spesifik lain. Yakni perjuangan politik itu dilakukan dengan tujuan "menegakkan terbentuknya negara Islam dan formalisasi syariat Islam sebagai hukum positif".
Terkait dengan negara Islam ini, Muhammadiyah sudah jelas memiliki pandangan tersendiri. Sikap resmi Muhammadiyah mengenai isu negara Islam bahkan bisa dibilang sudah tegas. Syafii Maarif, misalnya, sering menyatakan bahwa Pancasila sudah memadai untuk mengakomodasi nilai-nilai Islam. Syafii bahkan termasuk pihak yang tidak suka dengan kecenderungan formalisasi lewat perda-perda berbau syariat.
Pandangan yang lebih-kurang senada pernah disampaikan Din Syamsuddin. Di beberapa forum publik, misalnya, Din menandaskan bahwa Pancasila sebagai dasar negara RI sudah final dan tidak perlu dipersoalkan lagi.
Posisi RI sebagai "negara Pancasila" dan bukannya "negara Islam" itu sebenarnya juga bisa berdampak positif bagi pelaksanaan syariat itu sendiri karena memberikan ruang independensi. Sebagai contoh, ketika Ramadan 2012 Muhammadiyah metetapkan dimulainya Ramadan lebih awal, dan berbeda dari penetapan pemerintah, sempat terdengar imbauan agar Muhammadiyah mengikuti pemerintah (dalam hal ini Departemen Agama) untuk penentuan awal puasa, dengan argumen bahwa pemerintah adalah ulil amri.
Din termasuk yang tidak sependapat dengan logika itu. Muhammadiyah berhak menentukan sendiri kapan awal puasa dan pemerintah sebaiknya tidak memaksakan penyeragaman. "Kalau dikatakan pertimbangannya karena pemerintah adalah ulil amri, mohon maaf, kami tidak sependapat. Ini bukan negara Islam. Alasan harus dipatuhi karena ulil amri justru batal demi hukum," katanya di kantor Muhammadiyah, bulan puasa lalu.
Meski sikap Muhammadiyah mengenai Pancasila sudah tegas, di kalangan pemuda Muhammadiyah tetap saja ada pihak yang masih menganggap perlunya formalisasi syariat Islam. Ini terlihat dari wawancara Pradana dengan beberapa aktivis Muhammadiyah di kawasan Lamongan, Jawa Timur, yang jadi lokasi penelitiannya.
Mengapa ada fenomena seperti itu? Menurut Pradana, ini terjadi karena ada garis persinggungan antara ideologi Muhammadiyah dan ideologi kelompok Islam radikal. Sejarahnya bisa dimulai sejak Muhammadiyah didirikan KH Ahmad Dahlan.
Penelitian Pradana menjelaskan bahwa KH Ahmad Dahlan mengadopsi ijtihad dan ittibasebagai dasar dalam ideologi tajdid (pembaruan) untuk melawan kondisi taklid. Kredo yang dipakai adalah "kembali ke Al-Quran dan sunah". Kredo ini dikampanyekan untuk melawan tradisionalisme dan unsur-unsur kejawen yang ketika itu marak dan bertentangan dengan ajaran Islam, kerap disingkat TBC (takhayul, bid'ah, churafat).
Namun kredo "kembali ke Al-Quran dan sunah" bisa dipahami secara berbeda. Secara positif, kredo ini berarti seseorang tidak harus bergantung pada suatu otoritas tertentu (misalnya ulama karismatis) untuk memahami Islam. Taklid, yakni kondisi "sekadar mengekor", pun terdobrak.
Tapi, di sisi lain, kredo itu juga sering dipahami secara skripturalis, yakni bahwa "kembali pada Al-Quran dan sunah" berarti memahami agama secara tekstual, yang sebenarnya justru bertolak belakang dengan ide tajdid itu sendiri.
Contohnya lagi-lagi adalah keyakinan bahwa formalisasi syariat adalah wajib untuk menegakkan Islam. Dalam pemahaman skripturalis inilah ada garis persinggungan antara Muhammadiyah dan kelompok Islam radikal.
Dua pemahaman berbeda itu tergambar dalam kisah Amrozi, pengebom Bali I, dengan kakaknya, Khozin. Walau sama-sama berasal dari keluarga Muhammadiyah, Khozin dan Amrozi/Mukhlas memiliki pemahaman sangat berbeda. Khozin justru menyalahkan pemahaman Amrozi. Bahkan terungkap bahwa Khozin beberapa kali berdebat dengan Mukhlas. Sayangnya, Amrozi lebih sependapat dengan pemahaman Mukhlas daripada Khozin.
Perlu juga ditegaskan bahwa pemahaman skripturalis sebenarnya tidak serta-merta membuat orang jadi radikal. Ia hanya memberikan potensi. Dalam contoh para pengebom Bali I, Pradana menegaskan bahwa ideologi radikalisme mereka tidak termanifestasi dari semata pemahaman skripturalis, tapi setelah mereka terlibat aktivitas perang di Afghanistan. Di sanalah radikalisme yang sebenarnya terbentuk. Ini juga untuk membantah asumsi pihak-pihak yang mengidentikkan skripturalime dengan radikalisme.
Karena itu, meski ada garis persinggungan antara potensi radikalisme dan Muhammadiyah, Pradana menegaskan, proses pendewasaan ideologi radikal itu tidak terjadi di Muhammadiyah. Selaini itu, dalam kasus Amrozi dan Ali Imron, ketika ideologi radikalisme mereka sudah matang, mereka pun tidak lagi menganggap sebagai bagian dari Muhammadiyah dan memilih berpisah dari Muhammadiyah.
***
Tantangan Muhammadiyah memang lebih banyak pada soal dakwah dan idelogi, bukan pada aktivitas bisnis. Kalau soal itu, bahkan bisa dibilang tidak ada yang membantah. Muhammadiyah adalah organisasi dengan aset sampai trilyunan rupiah, mencakup sekolah, rumah sakit, dan masih banyak lagi.
Dalam hal ideologi, Din Wahid dari UIN Syarif Hidayatullah menyebutkan bagaimana Muhammadiyah menghadapi tantangan serius dari Salafi. Ia menyodorkan hasil penelitian di wilayah Sidayu, Gresik, tempat banyak aktivis Muhammadiyah beralih ke gerakan Salafi.
Salafi dan Muhammadiyah sebenarnya memiliki kesamaan. Keduanya bersemboyan "kembali ke Al-Quran dan hadis". Keduanya juga memiliki semangat reformis dan menolak berbagai modifikasi dalam agama atau TBC (takhayul, bid'ah, churafat). Karena itu, menurut Din, wajar kalau kemudian banyak anggota Muhammadiyah yang tertarik bergabung dengan gerakan Salafi.
Dalam kasus di Sidayu, friksi bisa dimulai ketika guru di sekolah Muhammadiyah beralih ke Salafi dan justru menyebarluaskan gagasan itu kepada murid-muridnya. Salah satu contoh yang disebut Din terjadi di era 1980-an, ketika seorang tenaga pengajar di Perguruan Muhammadiyah beraliran Salafi mengajari para siswa untuk tidak menghormat bendera Merah-Putih dan tidak memajang foto KH Ahmad Dahlan di dinding kelas. Hal ini membuat siswa jadi malas mengikuti upacara dan akhirnya menimbulkan ketegangan dengan pihak sekolah.
Ketika tenaga pengajar itu, seorang alumnus PGA (Pendikan Guru Agama) Muhammadiyah, akhirnya diberhentikan dari jabatannya, yang bersangkutan kemudian mendirikan pondok pesantren di wilayah Sidayu dan mulai mendapatkan pengikut.
Setelah itu, kian banyak bermunculan pesantren di Sidayu yang didirikan oleh Salafi, yang kebanyakan juga pernah mengeyam pendidikan awal di Muhammadiyah. Ketegangan kecil mulai terjadi, terutama dengan kalangan NU. Misalnya, para ulama NU sepakat agar masjid besar Sidayu, yakni Masjid Kanjeng Sepuh, menjadi standar dalam hal azan. Jadi, musala atau masjid-masjid lain yang lebih kecil diharap tidak mengumandangkan azan lebih dulu sebelum Masjid Kanjeng Sepuh.
Tapi suatu kali, saat bulan puasa, sebuah pesantren Salafi mengumandangkan azan magrib lebih dulu ketimbang Masjid Kanjeng Sepuh. Hal ini membuat warga muslim bingung hingga para ulama NU mengajukan protes.
Din mencatat, puncak ketegangan terjadi pada 1994, ketika seorang santri di pesantren Salafi merusak makam Kanjeng Sepuh (ini nama Adipati Sidayu) yang berlokasi di kompleks Masjid Kanjeng Sepuh. Makam itu memang kerap dikunjungi umat Islam dan kadang ada yang berdoa dengan meminta perantara (wasilah).
Wasilah memang isu sensitif. Muhammadiyah tidak mengakui wasilah. Orang bisa langsung berdoa kepada Allah tanpa melalui perantara. Sedangkan NU membolehkan wasilah. Di situs resmi NU, nu.or.id, misalnya, dalam tanya-jawab soal wasilah disebutkan berbagai dalil, baik dari Al-Quran maupun hadis, mengenai dasar diperbolehkannya wasilah.
Namun Salafi (juga Muhammadiyah) menolak wasilah dan melihatnya sebagai perbuatan syirik (menyekutukan Allah). Karena itulah, si santri tadi merusak makam Kanjeng Sepuh, karena di sana banyak orang yang datang untuk ber-wasilah.
Din mencatat, peristiwa itu hampir saja berujung aksi fisik, karena warga yang marah oleh aksi perusakan makam itu segera memobiliasi diri dan hendak membakar pesantren. Polisi pun turun tangan. Pesantren itu akhirnya ditutup polisi untuk meredakan amuk warga.
Meski demikian, setelah insiden itu, tetap ada pengikut Salafi yang menjadi tenaga pengajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Para pengikut Salafi pun menggunakan musala-musala Muhammadiyah untuk kegiatan majelis taklim atau pengajian mereka.
Dipaparkan Din, sebagian aktivis Muhammadiyah di Sidayu memang tidak memiliki masalah dengan doktrin-doktrin Salafi. Ketua Muhammadiyah Sidayu, misalnya, meski bukan pengikut Salafi, memanjangkan jenggotnya dan tidak mengenakan celana di bawah mata kaki (isbal) serta menganggap bahwa Muhammadiyah dan Salafi bisa sama-sama memerangi TBC (takhayul, bid'ah, churafat).
Ada dua catatan menarik Din tentang fenomena Salafi di Sidayu ini. Pertama, Muhammadiyah terlihat sudah meninggalkan metode dakwah konvensional --grup-grup kecil biasanya berkumpul, lalu mendengarkan ceramah atau berdiskusi dengan guru. Kurangnya metode dakwah konvensional inilah yang akhirnya membuat para aktivis Muhammadiyah tertarik dan beralih ke gerakan lain.
Di bagian lain juga disebutkan mengapa pengikut Salafi diperbolehkan menggunakan musala-musala yang dikelola Muhammadiyah di Sidayu untuk aktivitas pengajian (mungkin saja sekaligus rekrutmen). Salah satu sebabnya, agar musala itu tidak kekurangan aktivitas.
Sedangkan poin kedua, menurut Din, Muhammadiyah harus kembali memikirkan posisinya dalam reformasi Islam. Sebab Salafi memunculkan tantangan serius terhadap Muhammadiyah. Tantangan itu tidak secara keorganisasian atau pengelolaan aset, tapi terutama tantangan secara ideologi.
Namun tantangan itu akan sulit dijawab, karena selama ini Muhammadiyah kekurangan stok ulama yang berotoritas di bidang ilmu-ilmu klasik Islam, seperti fikih, hadis, atau tafsir. Padahal, demand dalam bentuk semangat para kaum muda untuk makin mendalami Islam sangat tinggi. Kurangnya para ulama ilmu klasik di Muhammadiyah inilah yang juga membuat banyak remaja atau kaum muda Muhammadiyah tertarik ke Salafi.
Poin kedua dalam paper Din itu memang selama konferensi beberapa kali disampaikan pembicara lain. Ahmad Muttaqin, dosen UIN Yogyakarta, dalam makalahnya tentang Muhammadiyah studies, juga mengkritik hal yang lebih-kurang sejenis.
Kritik Muhammadiyah terhadap masalah kemiskinan, misalnya, diatasi dengan pendirian panti asuhan. Kritik terhadap dikotomi sistem pendidikan sekuler dan Islam diatasi dengan penggabungan keduanya di sekolah Muhammadiyah. Tapi, mengapa kritik terhadap TBC (takhayul, bid'ah, churafat) tidak diimbangi dengan pengembangan kanal spiritual yang legitimatif?
Padahal, saat ini pangsa "market spiritual" sangat besar. Ketiadaan kanal spiritual di internal Muhammadiyah inilah yang akhirnya membuat warga Muhammadiyah mencari "produk spiritual" yang tersedia saja, walau bahkan terkadang meragukan keabsahannya. Muttaqin lalu mencontohkan warga Muhammadiyah yang terlibat aktivitas yoga spiritual, zikir untuk penyembuhan, kursus salat khusyuk, dan sebagainya. Menurut dia, Muhammadiyah harus mengatasi kelemahan dalam pengembangan kanal spiritual ini.
Dengan berbagai kelemahan itu, tidak mengherankan kalau para sarjana asing yang meneliti Muhammadiyah makin bersuara tajam mengenai Muhammadiyah. Ungkapan jujur datang dari Amin Abdullah, mantan Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, yang mengutip pendapat Prof. Mitsuo Nakamura, penulis buku The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in Central Javanese Town (1983), bahwa dengan kondisi saat ini, "peran pelopor bagi Muhammadiyah tidak bisa dipertahankan lagi".
Namun, di usia 100 tahun, Muhammadiyah masih punya jalan panjang. Selain itu, dengan konferensi riset internasional ini, di mana berbagai kelemahan atau fenomena di dalam tubuh Muhammadiyah dianalisis panjang lebar, Muhammadiyah justru akan makin menemukan format tajdid (pembaruan) untuk zaman ini.
Basfin Siregar
http://arsip.gatra.com/2012-12-31/majalah/artikel.php?pil=23&id=153320
Komentar
Posting Komentar