Indonesia Hitam-Putih
Republika, 14 Agustus 2017
Oleh : Haedar Nashir
Benarkah kita mencintai Indonesia sepenuh jiwa-raga tatkala kehidupan kebangsaan saat ini sarat tarikan kepentingan yang serba niscaya? Manakala di antara komponen bangsa dengan gampang mengumbar amarah di ranah publik hanya karena masalah praktis. Pertanyaan sederhana ini layak untuk direnungkan ketika segenap rakyat di negeri ini merayakan hari kemerdekaan Indonesia ke-72.
Fakta berbicara terbuka. Sekelompok orang bertepuk dada sebagai penjaga garda terdepan Indonesia. Berslogankan NKRI dan Pancasila harga mati. Namun begitu kepentingan sendiri terganggu, sertamerta menyebar kejengahan dan kangkuhan kolektif di ruang publik. Tak lupa menebar ancaman politik, tidak akan memberi dukungan dalam kontestasi politik 2019 kepada elite negeri yang tidak mengakomodasi kepentingannya.
Kelompok lain bersuara lantang. Siapa menolak PERPPU Ormas maka sama dengan anti-Pancasila, anti-NKRI. Sebaliknya mereka yang mendukung PERPPU berarti bela NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika. Sikap serba pilihan ganda itu digelorakan dengan fanatik buta seolah dunia keindonesiaan diambang kiamat.
Pihak lain melakukan politisasi yang sama. Menolak PERPPU berarti mendukung kelompoknya, sembari mengakapitalisasi posisi diri selaku korban politik kebijakan pemerintah. Lahirlah para hero baru, siapa melawan PERPPU dan anti-pemerintah sama dengan pejuang kebenaran sejati di Republik ini. Sebaliknya, mereka yang berada di seberang lain dianggap lemah dan sontoloyo.
Berbangsa dan bernegara menjadi hitam-putih. Saling bertabrakan keras. Masuk dalam pendulum ekstrem, kalau tidak A maka B. Bendera Indonesia yang berkibar di seluruh sudut negeri memang masih berwarna merah-putih dalam kesemerakkan yang tak tertandingi. Tetapi alam pikir, sikap, dan tindakan ber-Indonesia menjadi hitam-putih yang serba dangkal. Menjadi naif dan berkaca-mata kuda!
Oposisi Biner
Kenapa alam pikir dan sikap serba hitam putih cenderung merebak dalam kehidupan kebangsaan di negeri tercinta ini? Bukan hanya dunia politik yang dangkal, saling sandera, dan mudah gaduh. Hukum pun makin kering dari filosofi dan bingkai etik, bahkan rentan politisasi. Beragama lebih banyak verbalisme, yang tak menyentuh pesan suci yang mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan. Klaim agama rahmatan lil-'alamin, tapi perangai kolektif jauh panggang dari api.
Berbagai bingkai dan pelabelan sosial yang kontras seolah menjadi instrumen kolektif baru di tubuh bangsa ini. Kanan versus kiri, radikal lawan moderat, pro dan anti-NKRI, pro dan anti-Pancasila, pro dan anti-kebinekaan, dan beragam kategorisasi lainnya yang bertumbuh menjadi pola pikir kolektif. Kata-kata eksrem kanan dan ekstrim kiri diproduksi intens ke ruang publik, mengingatkan kita ke masa Orde Baru. Mengklaim moderat tapi sering ekstrem dan mudah marah ketika masuk ke area kepentingan diri, sehingga menjadi ekstrem-tengah.
Di kalangan umat beragama, lebih-lebih melalui media sosial mekar ujaran-ujaran teologis bernuansa garang dan amarah. Kata-kata sesat, munafiq, kafir, dhalim, dan kategorisasi keagamaan lainnya diproduksi dengan mudah di ranah publik. Lawan katanya tentu saja yang serba imani, yang kadang mengarah ke tazakku atau sifat paling diri suci. Reproduksinya dalam ujaran dan tulisan tidak jarang ekstrem, sehingga kehilangan sentuhan damai dan lembut hati sebagaimana uswah khasanah Nabi.
Ketika sebagian orang berusaha eklektik dipandang tak punya sikap, abu-abu, dan ambigu karena standar yang dipakai hitam-putih atau pilihan ganda yang ekstrem. Sikap tengahan dianggap nifaq atau hipokrit. Kenisbian dikalahkan oleh absolutisme. Objektivitas disandera subjektivitas. Pola pikir esai direduksi pilihan ganda. Kurvanya menjadi tidak normal lagi, karena bagian tengah ikut terarsir atau mengarsirkan diri dalam warna hitam-putih yang juga ekstrem. Pilihan ekstrem seakan menjadi arus utama, jika tidak ekstrem bukanlah pilihan yang benar.
Dalam bingkai nalar post-modern ala Ferdinand de Saussure dan Claude Levi-Strauss dari mazhab pos-strukturalis Perancis, alam pikir hitam putih menyeret manusia pada paham oposisi biner yang dangkal dan naif. Bahwa kategorisasi oposisi biner pada awalnya merupakan penanda yang memiliki keterkaitan esensi dan makna, bukan keterpisahan dan pertentangan. Mereka yang berbeda secara kategoris, seperti laki-laki dan perempuan menjadi eksis karena keduanya memang berbeda untuk saling terhubung. Keislaman dan keindonesiaan merupakan oposisi biner yang dapat saling bermakna dan berguna dalam keterhubungan yang menguatkan eksistensi keduanya, meski berbeda.
Namun di tangan orang-orang yang berpikiran hitam putih plus memiliki kepentingan tertentu, oposisi biner keislaman dan keindonesiaan seperti halnya relasi laki-laki dan perempuan kemudian dibenturkan untuk saling berhadapan sehingga terjadi konflik. Orang kalau sudah senang berlebihan, begitu pula sekali tak suka maka selamanya serba alergi. Sebanyak mungkin diproduksi isu-isu oposisi biner untuk menghasilkan konsleting dalam kehidupan berbangsa seperti pendukung Perppu versus penentang, ormas keagamaan lawan ormas kemasyarakatan, kaum Islamis versus nasionalis, pro-NKRI lawan anti-NKRI, pendukung lawan anti-Pancasila, kaum kanan versus kiri, serta isu-isu sensitif lainnya yang serba kontras yang muaranya menghasilkan benturan antarkomponen bangsa maupun antarkomponen bangsa dengan pemerintah.
Goresan hitam-putih menjelma menjadi paradoks kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Mengklaim kebhinekaan tetapi tidak toleran terhadap perbedaan. Mengaku moderat tetapi serbaekstrem. Telunjuk lurus menuding pihak lain radikal, saat yang sama bertindak radikal. Lemah lembut dipandang ringkih, sementara kegarangan dijadikan baju keangkuhan. Beragama pun sebatas formalisme, sementara perangai berlawanan dengan nilai-nilai luhur yang dititahkan Tuhan dalam kanopi kehidupan yang sarat makna Ilahi dan kenabian nan hanif. Inilah dunia hitam-putih dalam balutan verbalisme yang dangkal, naif, dan kehilangan makna utama!
Menemukan makna
Sebuah negara terbentuk bukan semata karena kekuasaan, tetapi bersatunya secara integral seluruh kekuatan masyarakat dalam entitas bangsa, ujar Spinoza. Para pendiri bangsa berbulan-bulan membahas dan berdebat secara mendalam seputar dasar negara dari Indonesia yang akan didirikan, bersambung beberapa tahun hingga puncaknya di sidang Konstituante. Meski sering berbeda pandangan secara tajam, para tokoh bangsa itu isi kepala dan hatinya luar biasa kaya dengan pemikiran dan kearifan, sehingga menjadi sosok-sosok negarawan yang adiluhung.
Indonesia sebagai negara dan bangsa sebenarnya dibangun dengan fondasi pemikiran yang kokoh yang bermuara pada apa yang disebut Soekarno sebagai Weltanschauung atau pandangan hidup yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara dan agama yang menjiwai nilai-nilai Pancasila serta terrtanam kuat dalam ruhani bangsa Indonesia sejak lama. Para elite negeri harus punya cukup wawasan luas dalam memimpin Indonesia agar tidak hitam putih dan dangkal dalam mengambil keputusan, sekaligus memiliki referensi kenegarwanan yang melampau.
Pancasila dan agama yang hidup di negeri ini pun harus dipahami secara mendasar dan luas oleh para petinggi negeri agar tidak kering nilai dan visi. Agama dan Pancasila menyatu dalam alam pikiran masyarakat Indonesia yang relijius, altruis, dan humanistik.
Bagi umat beragama Pancasila bukanlah agama, tetapi kandungan setiap Sila-nya sejalan dengan nilai-nilai ajaran agama. Termasuk bagi umat Islam sebagai pemeluk agama mayoritas, Pancasila senapas dengan nilai ajaran Islam. Pancasila menyerap nilai-nilai agama, lebih-lebih pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa plus keempat sila lainnya. Pada Pembukaan maupun pasal 29 UUD 1945 agama memperoleh tempat konstitusional yang kokoh.
Maka setiap pandangan dan usaha yang mempertentangkan keduanya menjadi tidak bermakna dan bahkan meluruhkan nilai dasar keduanya sebagai sumber nilai luhur berbangsa. Sebaliknya menyatukan keduanya secara sinkretis juga sama meluruhkan kedua nilai dasar itu, karena keduanya memiliki tempat yang berbeda, di mana agama merupakan ajaran suci bersumberkan wahyu Ilahi, sementara Pancasila lahir dari buah pikiran manusia yang disepekati untuk menjadi dasar bernegara. Keduanya memiliki maqom berbeda tetapi memiliki makna yang penting dan mendasar dalam memberi fondasi nilai bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian pula, Indonesia tidak dapat dikonstruksi dan diisi dengan ideologi sekuler, komunisme, dan paham lain yang berrtentangan dengan agama dan Pancasila. Pandangan ini mesti menjadi dasar berpikir dan bertindak segenap warga dan elite bangsa agar NKRI memiliki jiwa, alam pikiran, dan pola tindak yang mendasar dan benar sebagaimana kehendak para pendiri bangsa. Meski saat ini Indonesia memasuki fase baru demokratisasi dan penegakkan hak asasi manusia yang mengikuti alam pikiran universal dalam beragam ratifikasi produk PBB, tetapi tidaklah bebas dan bertentangan dengan Pancasila dan agama yang hidup dalam jiwa bangsa Indonesia.
Agenda penting yang bersifat aktual ialah bagaimana menerapkan dan mewujudkan nilai-nilai agama dan Pancasila dalam mencerahkan kehidupan kebangsaan, sehingga negeri dan bangsa ini tidak kehilangan pijakan dan arah laksana layang-layang yang putus tali. Di tubuh bangsa ini bukan verbalisme berbangsa yang harus didengungkan, tetapi harus masuk ke ranah internalisasi dan pelembagaan nilai sehingga mengaktual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Kebhinekaan jangan menjadi jargon verbal minus isi dan tindakan.
Keberadaan bangsa dan negara tidak cukup memadai hanya bermodalkan idiom-idiom verbal tentang keindonesiaan seperti NKRI harga mati, Pancasila, UUD 1945, dan Kebhinekaan yang formalistik. Pun tidak dapat dibangun dengan relasi kuasa dalam demokrasi verbal dan prosedural. Keindonesia tidak dapat hitam-putih, lebih-lebih dengan logika-logika dangkal dan naif. Berindonesia meniscayakan jiwa, pikiran, dan pola tindak yang filosofis dan ideologis dalam frame Pancasila maupun agama yang menjadi sukma keyakinan bangsa Indonesia. Penisbian apalagi pengingkaran atas nilai-nilai agama dan Pancasila sama dengan luruhnya ke-Indonesia-an.
Apalah artinya menggelorakan cinta Indonesia dan cinta Pancasila manakala berhenti pada ujaran dan retorika. Apalagi mana kata tak sejalan dengan tindakan. Jangan biarkan Indonesia diluruhkan perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama maupun Pancasila seperti korupsi, menguras kekayaan negara, membiarkan tangan-tangan serakah menggerogoti negeri, berbuat sewenang-wenang, menebar ketidakadilan, serta segala tindakan lain yang menyengsarakan rakyat dan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Keserakahan pun jangan dibiarkan merajalela, sehingga kelompok kecil yang perkasa menguasai mayoritas yang lemah tanpa kendali kuasa negara, serta kelompok-kelompok komunal yang sarat keangkuhan kolektif mendikte kuasa negara.
Lalu, negara pun menjadi ringkih dan mudah terombang-ambing oleh beragam perangai anarkhis para penghuninya. Banyak orang kehilangan visi dan gampang bertindak kekanak-kanakan. Apa saja boleh dilakukan di negeri ini, sementara biduk negeri kehilangan kendali. Persis laksana ekspedisi kapal raksasa di tengah samudra lepas bergelombang dahsyat minus nakhoda tangguh dan kompas berlayar ke arah tujuan yang pasti. Fa-aina tadzhabun? Hendak dibawa ke mana Indonesia yang berusia 72 tahun ini dalam berlayar menuju pantai harapan?
http://www.republika.co.id/berita/kolom/teh-anget/17/08/14/ouoafs396-indonesia-hitamputih
Oleh : Haedar Nashir
Benarkah kita mencintai Indonesia sepenuh jiwa-raga tatkala kehidupan kebangsaan saat ini sarat tarikan kepentingan yang serba niscaya? Manakala di antara komponen bangsa dengan gampang mengumbar amarah di ranah publik hanya karena masalah praktis. Pertanyaan sederhana ini layak untuk direnungkan ketika segenap rakyat di negeri ini merayakan hari kemerdekaan Indonesia ke-72.
Fakta berbicara terbuka. Sekelompok orang bertepuk dada sebagai penjaga garda terdepan Indonesia. Berslogankan NKRI dan Pancasila harga mati. Namun begitu kepentingan sendiri terganggu, sertamerta menyebar kejengahan dan kangkuhan kolektif di ruang publik. Tak lupa menebar ancaman politik, tidak akan memberi dukungan dalam kontestasi politik 2019 kepada elite negeri yang tidak mengakomodasi kepentingannya.
Kelompok lain bersuara lantang. Siapa menolak PERPPU Ormas maka sama dengan anti-Pancasila, anti-NKRI. Sebaliknya mereka yang mendukung PERPPU berarti bela NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika. Sikap serba pilihan ganda itu digelorakan dengan fanatik buta seolah dunia keindonesiaan diambang kiamat.
Pihak lain melakukan politisasi yang sama. Menolak PERPPU berarti mendukung kelompoknya, sembari mengakapitalisasi posisi diri selaku korban politik kebijakan pemerintah. Lahirlah para hero baru, siapa melawan PERPPU dan anti-pemerintah sama dengan pejuang kebenaran sejati di Republik ini. Sebaliknya, mereka yang berada di seberang lain dianggap lemah dan sontoloyo.
Berbangsa dan bernegara menjadi hitam-putih. Saling bertabrakan keras. Masuk dalam pendulum ekstrem, kalau tidak A maka B. Bendera Indonesia yang berkibar di seluruh sudut negeri memang masih berwarna merah-putih dalam kesemerakkan yang tak tertandingi. Tetapi alam pikir, sikap, dan tindakan ber-Indonesia menjadi hitam-putih yang serba dangkal. Menjadi naif dan berkaca-mata kuda!
Oposisi Biner
Kenapa alam pikir dan sikap serba hitam putih cenderung merebak dalam kehidupan kebangsaan di negeri tercinta ini? Bukan hanya dunia politik yang dangkal, saling sandera, dan mudah gaduh. Hukum pun makin kering dari filosofi dan bingkai etik, bahkan rentan politisasi. Beragama lebih banyak verbalisme, yang tak menyentuh pesan suci yang mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan. Klaim agama rahmatan lil-'alamin, tapi perangai kolektif jauh panggang dari api.
Berbagai bingkai dan pelabelan sosial yang kontras seolah menjadi instrumen kolektif baru di tubuh bangsa ini. Kanan versus kiri, radikal lawan moderat, pro dan anti-NKRI, pro dan anti-Pancasila, pro dan anti-kebinekaan, dan beragam kategorisasi lainnya yang bertumbuh menjadi pola pikir kolektif. Kata-kata eksrem kanan dan ekstrim kiri diproduksi intens ke ruang publik, mengingatkan kita ke masa Orde Baru. Mengklaim moderat tapi sering ekstrem dan mudah marah ketika masuk ke area kepentingan diri, sehingga menjadi ekstrem-tengah.
Di kalangan umat beragama, lebih-lebih melalui media sosial mekar ujaran-ujaran teologis bernuansa garang dan amarah. Kata-kata sesat, munafiq, kafir, dhalim, dan kategorisasi keagamaan lainnya diproduksi dengan mudah di ranah publik. Lawan katanya tentu saja yang serba imani, yang kadang mengarah ke tazakku atau sifat paling diri suci. Reproduksinya dalam ujaran dan tulisan tidak jarang ekstrem, sehingga kehilangan sentuhan damai dan lembut hati sebagaimana uswah khasanah Nabi.
Ketika sebagian orang berusaha eklektik dipandang tak punya sikap, abu-abu, dan ambigu karena standar yang dipakai hitam-putih atau pilihan ganda yang ekstrem. Sikap tengahan dianggap nifaq atau hipokrit. Kenisbian dikalahkan oleh absolutisme. Objektivitas disandera subjektivitas. Pola pikir esai direduksi pilihan ganda. Kurvanya menjadi tidak normal lagi, karena bagian tengah ikut terarsir atau mengarsirkan diri dalam warna hitam-putih yang juga ekstrem. Pilihan ekstrem seakan menjadi arus utama, jika tidak ekstrem bukanlah pilihan yang benar.
Dalam bingkai nalar post-modern ala Ferdinand de Saussure dan Claude Levi-Strauss dari mazhab pos-strukturalis Perancis, alam pikir hitam putih menyeret manusia pada paham oposisi biner yang dangkal dan naif. Bahwa kategorisasi oposisi biner pada awalnya merupakan penanda yang memiliki keterkaitan esensi dan makna, bukan keterpisahan dan pertentangan. Mereka yang berbeda secara kategoris, seperti laki-laki dan perempuan menjadi eksis karena keduanya memang berbeda untuk saling terhubung. Keislaman dan keindonesiaan merupakan oposisi biner yang dapat saling bermakna dan berguna dalam keterhubungan yang menguatkan eksistensi keduanya, meski berbeda.
Namun di tangan orang-orang yang berpikiran hitam putih plus memiliki kepentingan tertentu, oposisi biner keislaman dan keindonesiaan seperti halnya relasi laki-laki dan perempuan kemudian dibenturkan untuk saling berhadapan sehingga terjadi konflik. Orang kalau sudah senang berlebihan, begitu pula sekali tak suka maka selamanya serba alergi. Sebanyak mungkin diproduksi isu-isu oposisi biner untuk menghasilkan konsleting dalam kehidupan berbangsa seperti pendukung Perppu versus penentang, ormas keagamaan lawan ormas kemasyarakatan, kaum Islamis versus nasionalis, pro-NKRI lawan anti-NKRI, pendukung lawan anti-Pancasila, kaum kanan versus kiri, serta isu-isu sensitif lainnya yang serba kontras yang muaranya menghasilkan benturan antarkomponen bangsa maupun antarkomponen bangsa dengan pemerintah.
Goresan hitam-putih menjelma menjadi paradoks kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Mengklaim kebhinekaan tetapi tidak toleran terhadap perbedaan. Mengaku moderat tetapi serbaekstrem. Telunjuk lurus menuding pihak lain radikal, saat yang sama bertindak radikal. Lemah lembut dipandang ringkih, sementara kegarangan dijadikan baju keangkuhan. Beragama pun sebatas formalisme, sementara perangai berlawanan dengan nilai-nilai luhur yang dititahkan Tuhan dalam kanopi kehidupan yang sarat makna Ilahi dan kenabian nan hanif. Inilah dunia hitam-putih dalam balutan verbalisme yang dangkal, naif, dan kehilangan makna utama!
Menemukan makna
Sebuah negara terbentuk bukan semata karena kekuasaan, tetapi bersatunya secara integral seluruh kekuatan masyarakat dalam entitas bangsa, ujar Spinoza. Para pendiri bangsa berbulan-bulan membahas dan berdebat secara mendalam seputar dasar negara dari Indonesia yang akan didirikan, bersambung beberapa tahun hingga puncaknya di sidang Konstituante. Meski sering berbeda pandangan secara tajam, para tokoh bangsa itu isi kepala dan hatinya luar biasa kaya dengan pemikiran dan kearifan, sehingga menjadi sosok-sosok negarawan yang adiluhung.
Indonesia sebagai negara dan bangsa sebenarnya dibangun dengan fondasi pemikiran yang kokoh yang bermuara pada apa yang disebut Soekarno sebagai Weltanschauung atau pandangan hidup yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara dan agama yang menjiwai nilai-nilai Pancasila serta terrtanam kuat dalam ruhani bangsa Indonesia sejak lama. Para elite negeri harus punya cukup wawasan luas dalam memimpin Indonesia agar tidak hitam putih dan dangkal dalam mengambil keputusan, sekaligus memiliki referensi kenegarwanan yang melampau.
Pancasila dan agama yang hidup di negeri ini pun harus dipahami secara mendasar dan luas oleh para petinggi negeri agar tidak kering nilai dan visi. Agama dan Pancasila menyatu dalam alam pikiran masyarakat Indonesia yang relijius, altruis, dan humanistik.
Bagi umat beragama Pancasila bukanlah agama, tetapi kandungan setiap Sila-nya sejalan dengan nilai-nilai ajaran agama. Termasuk bagi umat Islam sebagai pemeluk agama mayoritas, Pancasila senapas dengan nilai ajaran Islam. Pancasila menyerap nilai-nilai agama, lebih-lebih pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa plus keempat sila lainnya. Pada Pembukaan maupun pasal 29 UUD 1945 agama memperoleh tempat konstitusional yang kokoh.
Maka setiap pandangan dan usaha yang mempertentangkan keduanya menjadi tidak bermakna dan bahkan meluruhkan nilai dasar keduanya sebagai sumber nilai luhur berbangsa. Sebaliknya menyatukan keduanya secara sinkretis juga sama meluruhkan kedua nilai dasar itu, karena keduanya memiliki tempat yang berbeda, di mana agama merupakan ajaran suci bersumberkan wahyu Ilahi, sementara Pancasila lahir dari buah pikiran manusia yang disepekati untuk menjadi dasar bernegara. Keduanya memiliki maqom berbeda tetapi memiliki makna yang penting dan mendasar dalam memberi fondasi nilai bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian pula, Indonesia tidak dapat dikonstruksi dan diisi dengan ideologi sekuler, komunisme, dan paham lain yang berrtentangan dengan agama dan Pancasila. Pandangan ini mesti menjadi dasar berpikir dan bertindak segenap warga dan elite bangsa agar NKRI memiliki jiwa, alam pikiran, dan pola tindak yang mendasar dan benar sebagaimana kehendak para pendiri bangsa. Meski saat ini Indonesia memasuki fase baru demokratisasi dan penegakkan hak asasi manusia yang mengikuti alam pikiran universal dalam beragam ratifikasi produk PBB, tetapi tidaklah bebas dan bertentangan dengan Pancasila dan agama yang hidup dalam jiwa bangsa Indonesia.
Agenda penting yang bersifat aktual ialah bagaimana menerapkan dan mewujudkan nilai-nilai agama dan Pancasila dalam mencerahkan kehidupan kebangsaan, sehingga negeri dan bangsa ini tidak kehilangan pijakan dan arah laksana layang-layang yang putus tali. Di tubuh bangsa ini bukan verbalisme berbangsa yang harus didengungkan, tetapi harus masuk ke ranah internalisasi dan pelembagaan nilai sehingga mengaktual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Kebhinekaan jangan menjadi jargon verbal minus isi dan tindakan.
Keberadaan bangsa dan negara tidak cukup memadai hanya bermodalkan idiom-idiom verbal tentang keindonesiaan seperti NKRI harga mati, Pancasila, UUD 1945, dan Kebhinekaan yang formalistik. Pun tidak dapat dibangun dengan relasi kuasa dalam demokrasi verbal dan prosedural. Keindonesia tidak dapat hitam-putih, lebih-lebih dengan logika-logika dangkal dan naif. Berindonesia meniscayakan jiwa, pikiran, dan pola tindak yang filosofis dan ideologis dalam frame Pancasila maupun agama yang menjadi sukma keyakinan bangsa Indonesia. Penisbian apalagi pengingkaran atas nilai-nilai agama dan Pancasila sama dengan luruhnya ke-Indonesia-an.
Apalah artinya menggelorakan cinta Indonesia dan cinta Pancasila manakala berhenti pada ujaran dan retorika. Apalagi mana kata tak sejalan dengan tindakan. Jangan biarkan Indonesia diluruhkan perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama maupun Pancasila seperti korupsi, menguras kekayaan negara, membiarkan tangan-tangan serakah menggerogoti negeri, berbuat sewenang-wenang, menebar ketidakadilan, serta segala tindakan lain yang menyengsarakan rakyat dan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Keserakahan pun jangan dibiarkan merajalela, sehingga kelompok kecil yang perkasa menguasai mayoritas yang lemah tanpa kendali kuasa negara, serta kelompok-kelompok komunal yang sarat keangkuhan kolektif mendikte kuasa negara.
Lalu, negara pun menjadi ringkih dan mudah terombang-ambing oleh beragam perangai anarkhis para penghuninya. Banyak orang kehilangan visi dan gampang bertindak kekanak-kanakan. Apa saja boleh dilakukan di negeri ini, sementara biduk negeri kehilangan kendali. Persis laksana ekspedisi kapal raksasa di tengah samudra lepas bergelombang dahsyat minus nakhoda tangguh dan kompas berlayar ke arah tujuan yang pasti. Fa-aina tadzhabun? Hendak dibawa ke mana Indonesia yang berusia 72 tahun ini dalam berlayar menuju pantai harapan?
http://www.republika.co.id/berita/kolom/teh-anget/17/08/14/ouoafs396-indonesia-hitamputih
Komentar
Posting Komentar