Buya Syafii Maarif: Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemuhammadiyahan
Buya Ahmad Syafii Maarif menyampaikan materi di acara Kamastu. Foto: Iwan |
Gedung Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat malam di pekan kedua Oktober 2017, penuh sesak. Ruangan utama di lantai dua yang biasa digunakan untuk acara pertemuan dan pengajian dipenuhi seribuan manusia.
Tak biasa, meskipun semua meja telah disusutkan dan dijejeri ratusan kursi, tetap menyisakan banyak peserta yang harus duduk lesehan. Berdesak dan berpeluh dalam kerumunan. Kebanyakan adalah anak-anak muda. Antusiasme ini sungguh di luar prediksi panitia.
Buya Ahmad Syafii Maarif yang menjadi daya pikat di malam itu turut mengapresiasi. “Perubahan dimulai oleh anak-anak muda ini. Jangan menghabiskan energi untuk hal-hal yang tidak berguna,” kata Buya di satu bagian Kajian Malam Sabtu (Kamastu) itu.
Pekan sebelumnya, panitia menghadirkan Mun’im Sirry, dan juga sempat membludak. “Saya melihat anak-anak muda ini adalah orang-orang baik. Tidak seperti kakak-kakak Anda, bupati, gubernur, itu yang jadi pasien KPK lebih 60%. Anda jangan putus asa. Siapkan diri sebaik-baiknya,” tuturnya.
Sisi lain, setelah acara berakhir di pukul 22.15, Buya Syafii sempat berseloroh ke panitia, “Lho, kok tadi ndak ada yang marah sama saya ya, malah pada gembira semua.”
Sejak awal Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) DIY selaku penyelenggara, menyebarkan pamflet kajian bersama Buya Syafii, ada beberapa suara sumbang. Bahkan mungkin sampai ke telinga Buya sendiri. Suara-suara sinis ini masih dalam rangkaian beruntun setelah di akhir September, Buya dihujat karena isu PKI.
Selama dua jam, Buya tampak bersemangat menyampaikan pokok-pokok pemikirannya tentang keislaman, keindonesiaan, dan kemuhammadiyahan. Sesuai dengan tema yang diminta. Bagi Buya, anak-anak muda merupakan harapan dan agen perubahan di masa depan. Dengan syarat, anak-anak muda ini harus mempersiapkan diri sedini mungkin.
Pada para peserta, berkali-kali Buya mengingatkan pentingnya menciptakan budaya membaca dan berpikir kritis. “Budaya membaca sangat penting. Jangan bertanya mbah Google saja,” katanya di satu bagian.
“Baca buku-buku yang dikarang oleh orang-orang yang berani berpikir. Bukan buku-buku yang mempertahankan status quo,” tandas Buya di bagian lain. “Anda harus mencari informasi secara critical,” tambahnya.
Bagian pertama, Buya Syafii mengulas tentang kegelisahannya terkait tema keislaman. Sosok yang sudah berusia 82 tahun ini menunjukkan data-data tentang masyarakat global.
Dari 7 milyar penduduk dunia, kata Buya, 1,6 milyar merupakan muslim. “Penduduk agama yang paling cepat pertumbuhannya adalah umat islam,” katanya. Termasuk wilayah Eropa dan Amerika, penduduk beragama muslim terus tumbuh. Bahkan, peristiwa WTC di AS (9/11/2001) justru memicu orang untuk mengenal Islam.
“Secara kuantitas atau nominal (umat Islam) tidak ada yang kita khawatirkan. Tetapi yang merisaukan saya terletak pada kualitas kita. Kualitas kemanusiaan kita. Umat Islam yang sekian jumlahnya itu terbelah-belah,” urai Buya. Perpecahan umat Islam menjadi masalah utama. Padahal, al-Qur’an di banyak ayat meminta umat Islam untuk bersatu dan mendamaikan jika ada yang berselisih.
Guru besar sejarah UNY ini lantas membuka lembaran kelam. “Perpecahan ini bukan hal baru. Sudah dimulai sekitar beberapa tahun setelah nabi wafat. Pusara nabi masih merah (tanahnya), umatnya sudah berkelahi. Yang berkelahi itu kader-kader inti nabi. Karya-karya orang Arab menceritakan itu semua,” jelasnya.
Pernyataan Buya Syafii benar adanya. Perang Jamal, Perang Shiffin itu melibatkan istri, menantu, sepupu, dan sahabat-sahabat dekat Nabi. Beberapa nama termasuk sahabat yang dijamin masuk surga. Pertumpahan darah antar elit Arab ini tidak perlu ditutup-tutupi sebagai pembelajaran.
“Pelajaran moral untuk memandang jauh kedepan. Bukan untuk merendahkan (para sahabat). Tapi timbul pertanyaan, kenapa orang yang terlibat langsung belajar kepada nabi, terlibat pertumpahan darah,” tanya Buya seraya menambahkan bahwa tiga di antara para khalifah utama (Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib) wafat karena dibunuh.
Pertanyaan Buya ini tentu memiliki banyak jawaban. Buya sendiri menjawab, “Karena mereka (sahabat) tidak dibimbing langsung oleh wahyu. Beda dengan nabi yang langsung ditegur nabi, bila keliru,” katanya. Sehingga, pesan-pesan yang terdapat dalam al-Qur’an tidak mutlak menjiwai kehidupan sehari-hari para sahabat sebagai manusia biasa. Al-Qur’an memerintahkan untuk saling bersaudara, tetapi mereka memilih untuk berperang.
Al-Qur’an, kata Buya, jelas menyatakan bahwa nabi diutus untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. Wama arsalnaka illa rahmatan lil alamin. QS 21:107 menyebut, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Kata al-‘alamin, menurut Buya, itu bermakna bukan hanya alam manusia. “Tapi juga alam tumbuhan dan alam binatang. Harus merasakan rahmatnya (Islam),” katanya. Hari ini, rahmat dibatasi hanya untuk golongan tertentu secara sempit.
Keadaan di mana terjadi kesenjangan antara nilai-nilai utama al-Qur’an dengan kondisi umat Islam, khususnya di Timur Tengah menjadi problem utama. Di antara pesan inti al-Quran adalah tentang tauhid. Konsekuensi dari tauhid adalah menjunjung ketinggian Tuhan YME dan memposisikan selain Tuhan secara setara.
Mengangkat derajat manusia, menghapus pertumpahan darah dan mempersaudarakan semua golongan. Jika di kemudian hari, umat Islam jauh dari pesan itu, maka mereka telah menyimpang. Termasuk jika itu dilakukan oleh orang Arab yang sering disimbolkan sebagai wajah Islam.
Buya memberi istilah misguided Arabism atau Arabisme yang kesasar jalan dengan mengatasnamakan Tuhan. Mereka merupakan kalangan fanatik yang menghalalkan darah sesama muslim hanya karena berbeda pemahaman dan pandangan. ISIS, Boko Haram termasuk dalam kelompok yang sering menghabisi nyawa sesama muslim dengan sadis atas dalih ayat-ayat Allah.
Menurut al-Qur’an, kata Buya, tugas umat Islam itu sebagai wasit. “Disebut sebagai umatanwasatan dan syuhada’ alannas. Yaitu saksi atau wasit atas orang. Tapi sekarang kita yang diwasiti orang,” katanya. Sebagai saksi, harusnya umat Islam menjadi contoh teladan sebagai umat terbaik.
“Menurut saya, dunia Arab sekarang tidak bisa dipedomani. Kecuali mereka kembali ke jalan yang lurus. Kembali bersaudara, berhenti saling menghujat,” kata Buya sambil menyebut fakta betapa dunia Arab sedang berada di titik nadir. Kondisi ini harus diselamatkan. Bukan justru mengimpor dan mewariskan konflik di dunia Arab ini ke seluruh penjuru dunia muslim.
Yang lebih mengkhawatirkan Buya tentu saja terkait dengan kultur intelektual. “Sekarang teman-teman Arab yang pinter tidak bisa hidup di situ. Ada fakih, Khalid Abu Fadl, orang Kuwait yang terkenal sekali itu tinggal di Amerika. Dia tak bisa hidup di negerinya sendiri karena tidak aman dan tidak ada kebebasan,” kata Buya sambil menyebut beberapa nama lain. Iklim intelektual di dunia Arab sangat tertutup untuk pengembangan pengetahuan dan pemikiran.
Pemahaman keagamaan yang serba mengekang dan membatasi seperti itu, merupakan buah dari pemahaman agama yang parsial. “Orang tidak melihat ajaran Qur’an yang menyeluruh itu, yang holistik,” tandas Buya. Berdialog dengan Qur’an, menurutnya, harus bermula dari sikap jujur. Mengarahkan nalar untuk mengikuti Qur’an. Bukan memaksakan Qur’an mengikuti hawa nafsu dan apalagi bias ideologi sektarian.
Kondisi dunia Arab yang rapuh dan di ambang kehancuran, bagi Buya, merupakan fakta yang perlu dicermati. “Kita bisa menyalahkan Barat bahkan Rusia. Tapi saya punya thesis. Orang lain mengobok-obok kita karena kita memang rapuh dari dalam. Penjajah itu salah, iya. Tapi Malik bin Nabi menjawab, umat Islam itu memang pantas dijajah. Harusnya sebagai pembawa rahmat, tapi begini keadaannya,” katanya.
Bagian kedua, Buya Syafii berbicara tentang keindonesiaan. Dimulai dengan data kongkrit luas wilayah Indonesia hingga potensi kekayaan yang sedemikian rupa. Melihat sumber daya alam yang dikandung bumi Indonesia, bangsa ini harusnya menjadi sangat makmur. “Negeri ini bukan negeri miskin, meski sudah rusak. Tapi masih bisa menjadi adil, makmur,” katanya. Namun, setelah 70 tahun lebih merdeka, hal itu belum terwujud.
“Yang menguasai dunia ini hanya segelintir orang. Siapa yang menguasai tanah Indonesia? Dipegang oleh konglomerat sekitar 93 persen. 7 persen sisanya dikuasai oleh kita semua. Ini gila ndak? Gila sekali. Ada ketimpangan yang parah,” ujarnya. Bahkan, kata Buya, andai 10 persen kekayaan para konglomerat yang melebihi dana APBN itu disumbangkan untuk negara, maka sudah bisa menyelesaikan banyak persoalan dan memberi kemakmuran.
Menurut Buya, pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 menyebut bahwa di dalam Indonesia merdeka tidak ada lagi kemiskinan. “Sekarang orang miskin itu banyak dan seagama dengan kita,” kata Buya. Orang miskin berpikirnya tidak stabil. Sehingga, jika problem utama terkait kemiskinan ini tidak diatasi, maka mereka tidak bisa diajak untuk melakukan hal-hal lainnya.
“Indonesia dengan jumlah 263 juta penduduk sekarang ini menjadi terbesar ke-4 di muka bumi. Pada waktu merdeka, belum sampai 63 juta. Pada 2030 itu menurut prediksi, dari pertumbuhan ekonomi menjadi nomor 4 atau 5, mengalahkan Rusia. Pertanyaan saya, pertumbuhan untuk siapa?” tanya Buya.
Tidak hanya punya potensi sumber daya alam, sumber daya manusia Indonesia juga melimpah. “Otak orang Indonesia itu oke. Yang rusak itu pemimpinnya, politisinya, partainya,” kata Buya. Oleh karena itu, Buya mengajak anak-anak muda yang telah siuman untuk ikut bertanggung jawab membenahi negeri. “Anak muda jadi politisi boleh, tapi ekonominya harus membaik terlebih dahulu. Sehingga tidak gampang tergoda,” katanya.
“Kenapa uang jinak pada mereka (minoritas pengusaha) tapi liar sama kita? Karena kita hanya marah-marah saja. Kita tidak mau belajar,” katanya. Sekedar mengutuk, apalagi mencaci maki tidak akan menyelesaikan ketimpangan.
Buya melihat perlunya pembinaan entrepreneurship di setiap kabupaten/kota. Ilmu untuk berwirausaha harus ditularkan ke sebanyak mungkin generasi muda. “Kita punya mentalitas peminta-minta. Bertahan karena disantuni oleh bos. Mentalitas sejak sebelum merdeka. Seperti kata sastrawan Umar Kayam,” kata Buya.
Bagian ketiga, Buya Syafii menawarkan ide-ide segar terkait dengan Muhammadiyah, organisasi yang pernah dipimpinnya selama 7 tahun. Muhammadiyah yang telah memasuki usia abad kedua, menurut Buya, perlu banyak berbenah. Organisasi dengan jumlah dan jaringan amal usaha terbesar di seluruh dunia ini perlu memikirkan peran-peran yang lebih besar.
“Sejak Muhammadiyah berdiri, ia sebagai gerakan pembantu bangsa. Sudah 1 abad lebih menjadi pembantu yang baik sekali. Belum tampak tanda-tanda akan berhenti,” kata Buya. Muhammadiyah sejak awal memang mengabdikan diri dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial.
Namun, di mata Buya, sekedar menjadi pembantu tidak cukup. Negara tidak semakin membaik. Justru permasalahan bangsa semakin bertambah.
“Maka di abad kedua, Muhammadiyah tidak hanya jadi pembantu, tapi juga jadi penentu. Penentu bisa macam-macam,” kata Buya seraya menyebut contoh semisal peran Jihad Konstitusi, menjadi menteri, masuk dalam pemerintahan, hingga mendidik dan atau menyumbangkan kader-kader terbaiknya untuk mengurus negara. Sehingga muncul orang-orang negarawan, yang berpikir jauh ke depan.
“Negarawan itu larut untuk kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar. Bukan politisi, yang mikir diri sendiri, nambah istri, pemilu, pilkada. Negarawan mikir bagaimana Indonesia bertahan hingga sehari sebelum kiamat,” katanya. Jika berperan sebagai penentu, maka harus mempunyai karakter dan integritas.
Buya juga mengajak anak-anak muda untuk menggelorakan Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu. Hal itu telah disuarakan Buya sejak tahun 1995 ketika menjadi ketua umum PP Muhammadiyah. Orang Muhammadiyah itu kebanyakan berlatar belakang aktivis. “Tapi jika tidak punya ilmu, jadi tidak punya acuan,” katanya. Jiwa aktivisme perlu dipadukan dengan jiwa intelektualisme. Sesuai dengan jargon Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu amaliyah dan amal ilmiyah.
“Harus dipersiapkan SDM dengan kualitas tinggi. Unggul dalam semua bidang. Bukan hanya (menjadi) pemikir di menara gading. Tapi pemikir yang petarung. Untuk menjadi petarung, harus serius dan butuh usaha betul,” tegas Buya Syafii yang kini menjadi ketua tim pengembangan Madrasah Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta.
Di bagian lain, Buya mengingatkan pentingnya bagi anak-anak muda untuk berpikir dan bertindak beyond sektarianisme sempit. “Kita perlu merumuskan Islam pasca NU, pasca Muhammadiyah. Harus mengembalikan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Rahmatan lil alamin sebagai payung besar. Semua gerakan Islam harus ke sini arahnya,” tutur Buya. Sikap fanatik buta pada golongan tertentu justru akan mempersempit Islam yang sangat menjunjung ukhuwah dalam arti sangat luas.
Buya Syafii juga sempat mengingatkan pentingya memahami Kiai Dahlan dalam hal memegang prinsip serta dalam hal berpikir kritis dan terbuka. “Kiai Dahlan tidak mendapat pendidikan (modern) Barat. Belajar dari pondok ke pondok, lalu ke Makkah. Tapi mengerti zaman. Dia menentang arus dan dituduh macam-macam. Memang dibutuhkan orang-orang yang berani melawan arus. Tapi tidak asal,” katanya.
Beberapa pikiran maju Kiai Dahlan yang berani melawan arus dan melampaui zaman, tetapi dibangun atas dasar argumentasi yang kokoh, dirinci oleh Buya. Semisal mencetuskan prinsip demokrasi dalam Muhammadiyah. “Anggaran Dasar Muhammadiyah pasal 6, tahun 1912, pemimpin dipilih dengan suara terbanyak,” kata Buya.
Terakhir, Buya mengingatkan supaya anak-anak muda tidak takut untuk berbeda pendapat yang dibangun atas dasar yang kokoh. “Berbeda silahkan. Tapi beri argumen. Jika tanpa argumen, maka Anda hanya menghinakan martabat Anda sendiri,” tegas Buya. Nasehat ini tentu sangat penting di tengah situasi kecenderungan untuk penyeragaman dan penghujatan terhadap yang berbeda. Belum lagi kecenderungan untuk menolak sesuatu yang tidak dari golongan sendiri.
Pesan Buya lainnya, “Kalau berpikir perlu radikal. Kalau bertindak harus bijak.” Kebebasan berpikir dalam batasan-batasan yang jelas dan bertanggung jawab sangat perlu dikembangkan. “Dalam Islam orang boleh berpikir sangat jauh, selama dalam batas iman,” ujar Buya Syafii Maarif.
https://www.qureta.com/post/buya-syafii-maarif-keislaman-keindonesiaan-dan-kemuhammadiyahan
Komentar
Posting Komentar