Desa Tenggulun, Terorisme, dan BNPT (I)


Republika, rubrik resonansi, Selasa, 25 Juli 2017
Oleh : Ahmad Syafii Maarif
REPUBLIKA.CO.ID, Desa Tenggulun “adalah epicentrum (pusat utama) terorisme di Indonesia,” ujar Komjen Suhardi Alius, kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dalam sambutannya saat “Peresmian Penggunaan Sarana Ibadah Di Kompleks Masjid Baitul Muttaqien” di desa terpencil itu pada 21 Juli 2017. Dalam upacara peresmian itu, ada sekitar 800 undangan yang hadir, termasuk para mantan teroris di bawah pimpinan Ali Fauzi, ketua Yayasan Lingkar Perdamaian. Mereka semua memakai seragam batik.

Selain pimpinan BNPT, juga hadir Menlu Retno Lestari Priansari Marsudi, Moh Syafii; Ketua Pansus RUU Terorisme DPR, Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof DR Nasaruddin Umar; Irjenpol (Purn) Sidarto Danusubroto; anggota Wantimpres, Bupati Lamongan Fadeli, dan ratusan hadirin yang lain. Selama mengikuti upacara ini, saya yang juga diundang oleh BNPT untuk turut serta di dalamnya sempat merenung panjang mengapa desa Tenggulun ini telah melahirkan orang-orang hebat dalam arti negatif dan mengapa pula sekarang telah berubah menjadi pusat seruan perdamaian.

Di bulan Juli 2017 bagi saya ada dua tanggal yang perlu dicatat: tanggal 19 dan 21. Dua tanggal ini menjadi penting untuk belajar lebih dalam tentang fenomena radikalisme dan terorisme, baik pada tataran global mau pun pada tataran nasional. Pada 19 Juli di Hotel Phoenic Yogyakarta, BNPT bekerja sama dengan Pascasarjana UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) mengadakan seminar tentang upaya penanggulangan bahaya radikalisme dan terorisme. Peserta yang diundang umumnya berasal dari kalangan Muhammadiyah, dan saya sebagai salah seorang yang diminta untuk berbicara dalam pertemuan itu. Pembicara utama adalah dari pihak BNPT dan kalangan akademisi.

Tetapi ada pembicara lain yang memukau dari mantan kombatan yang pernah dihukum selama enam tahun karena terlibat dalam berbagai tindakan teror di Indonesia, kemudian sadar, dan kembali kepada pemahaman Islam yang benar sebagai rahmat bagi alam semesta. Sejak itu turut membantu BNPT untuk tugas nasionalnya dalam upaya membendung radikalisme dan terorisme melalui pendekatan lunak, persuasif, pendidikan, dan bantuan ekonomi. Mantan kombatan ini bernama Kurnia Widodo, S.T. (kelahiran Medan 1974), alumnus Teknik Kimia ITB, pakar perakit bom yang mahir membawakan dalil-dalil agama.

Penampilan Bung Kurnia tampak gagah, pakai kopiah hitam, dan punya rasa percaya diri yang tinggi, sebagaimana yang saya temui pada sosok mantan kombatan yang lain semisal Nasir Abas, Ali Imron, dan Ali Fauzi. Dua yang terakhir ini adalah bersaudara, berasal Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan. Desa Tenggulun ini sejak awal abad ke-21 telah menjadi sorotan dunia karena secara mendadak-sontak dikenal sebagai epicentrum (aslinya istilah geologi dari titik itu gempa bumi dan ledakan bawah tanah berasal) terorisme di Indonesia. Dengan kata lain, Desa Tenggulan, tempat kelahiran perancang bom Bali dan lain-lain tempat, pernah menjadi pusat dan otak terorisme yang mengerikan itu, sebagaimana dikatakan di atas. 

Bung Kurnia tidak hanya mahir dalam pembuatan bom, dia juga berbicara tentang landasan teologis dari perbuatan teror yang pernah dilakukannya sendiri sampai ditangkap aparat kepolisian. Dalam paparannya, alumnus ITB ini menelusuri faham salafisme ekstrem yang berakar pada teologi Wahabisme yang mengobarkan “perang” terhadap siapa pun yang tidak sependapat dengan penganut aliran ini. Teologi yang mengajarkan kebenaran tunggal inilah yang jadi pegangan pelaku teror di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Saya sudah agak lama mendengar pendapat ini, tetapi melalui mulut seorang Kurnia yang terlibat dalam eksekusi teologi kebenaran tunggal itu, masalahnya menjadi semakin terang benderang tentang betapa jauhnya ajaran Islam telah disalahtafsirkan dan disalahgunakan oleh faksi ekstrem ini untuk melakukan perbuatan biadabnya atas nama Tuhan. Paparan Bung Kurnia ini perlu disimak bukan saja oleh faksi-faksi radikal lainnya, baik di kalangan politisi mau pun kalangan mereka yang bergerak di bawah nama yang beragam, tetapi juga oleh arus besar Islam Indonesia: Muhammadiyah dan NU yang kabarnya sudah mulai disusupi oleh aliran ekstrem ini.

Jika benteng pertahanan Muhammadiyah dan NU sampai bobol dimasuki oleh teologi kebenaran tunggal ini, maka Indonesia sebagai bangsa Muslim terbesar di muka bumi akan berubah menjadi ladang pertumpahan darah, dan di ujungnya negeri ini akan masuk museum sejarah karena eksistensinya telah dibinasakan oleh anak-anaknya sendiri yang tergiur oleh  “misguided Arabism” (Arabisme yang kesasar jalan) dalam bentuk radikalisme dan terorisme itu. Tetapi, insya Allah, drama itu tidak akan berlaku, dengan syarat Muhammadiyah dan NU tetap istiqamah dalam khittah moderasinya masing-masing dan negara jangan sampai lengah untuk menangkal prilaku jahat ini.

http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/17/07/24/otlijo319-desa-tenggulun-terorisme-dan-bnpt-i

Komentar

Visitor

Online

Related Post