Tali Pengikat Hidup Manusia
Pidato KH Ahmad Dahlan pada Muktamar Muhammadiyah tahun 1922 (Album Muhammadiyah 1923)
TALI PENGIKAT HIDUP MANUSIA
Ahmad Dahlan
Tali pengikat hidup manusia adalah suatu pengetahuan yang terlalu amat besar bagi kemanusiaan umumnya, sehingga memenuhi bumi. Oleh karena itu, Tuan-tuan Pembaca diharap mau memikirkan benar-benar dan mengingat-ingat dan jangan tergesa-gesa.
Untuk memimpin suatu kehidupan itu seharusnya dan sepatutnya memakai suatu alat, yaitu Al-Qur’an. Bukankah manusia itu perlu bersatu hati karena beberapa sebab?
Pertama, Sebab manusia, bangsa apa saja, sesungguhnya nenek-moyangnya satu, yaitu Nabi Adam dan Ibu Hawa. Jadi, semua manusia itu satu daging dan satu darah. Kedua, supaya semua manusia dapat hidup senang bersama-sama di dunia. Jika manusia lalai akan tali pengikat ini, maka akan rusak dan merusakkan. Ini suatu kenyataan yang tidak boleh dipungkiri lagi.
Pikirkanlah pemimpin-pemimpin! Sejak Rasul-rasul (Utusan-utusan), sahabat-sahabatnya dan pemimpin kemajuan Islam pada jaman dahulu hingga sekarang, sudah sementara lama pemimpin-pemimpin itu bekerja. Mereka itu orang yang ternama, sebagian sudah mendapat pengajaran di perguruan tinggi. Walau begitu, belum dapat mereka bersatu hati.
Jangan pemimpin-pemimpin terkejut, lihatlah kanan-kiri, di muka dan di belakang dengan baik, bukankah masih tidak karuan? Ingatlah, saya tidak hanya memandang satu bangsa saja, akan tetapi semua bangsa manusia. Meskipun kita melihat hanya satu bangsa belum juga satu hati. Hal itu sesungguhnya tidak enak, akan tetapi lawannya (enak) yakni berbahaya. Apakah sebabnya begitu?
Pertama, kami pemimpin-pemimpin, belum bersatu hati, yang satu mengabaikan yang lain, tolak-menolak pengetahuan, padahal pengetahuan-pengetahuan itu perlu bagi manusia. Jadi, sudah tentu pengetahuan pemimpin-pemimpin itu kurang. Kurangnya pengetahuan itu menjadikan pendek-pikiran (cupet ing pamanggih, Jawa). Jadi, sesungguhnya pemimpin-pemimpin itu masih meraba-raba pada kegelapan. Apakah jadinya? Lalu tumbuh perbantahan antara pemimpin-pemimpin itu (rusak).
Kedua, pemimpin-pemimpin belum memimpin dengan tenaga atau tindakan (lampahlampah, Jawa). Kebanyakan masih memimpin dengan suara saja. Sesungguhnya mereka baru mencari pengertian dan menaburkan pengertian itu kepada orang banyak, belum memperhatikan tindakan (mrihatosaken lampah, Jawa) bagi dirinya sendiri dan orang banyak. Jadi, pemimpin-pemimpin itu sebagian besar baru memerlukan suara agar supaya kelihatan pendapat baiknya walaupun kelakuannya sendiri masih mengecewakan, yakni rusak dan merusakkan.
Terangnya, pemimpin-pemimpin itu banyak yang dipermainkan hawa nafsunya sendiri tanpa mengerti dan merasa. Misalnya, hawa nafsu mengajak malas dan kikir jika untuk suatu keperluan dan tidak malas dan kikir jika untuk suatu kesenangan. Begitulah hawa nafsu itu mempermainkannya, sehingga hawa nafsu itu menyesatkan kepada penipuan, kebohongan, main gila dan sebagainya. Bukankah hal itu rusak dan merusakkan?
Ketiga, kebanyakan pemimpin-pemimpin belum mempunyai tujuan untuk baik dan enaknya semua manusia. Mereka baru mementingkan kaumnya (golongannya) sendiri, lebih-lebih lagi ada yang hanya mementingkan badannya sendiri, kaumnya pun tidak dipedulikan. Maka, jika badannya sendiri sudah mendapat kesenangan, pada perasaannya sudah berpahala, dan sudah sampai maksudnya. Hal yang demikian itu sudah banyak yang diketahui (cacatnya) sehingga perkumpulan menjadi rusak dan menyebabkan cerai-berainya yang dipimpin; kembali mereka seperti keadaannya sebelum dipimpin, kemudian hati mereka meradang dan jera.
Jalan PersatuanPemimpin-pemimpin harus tahu benar kelakuan, keadaan dan adat-istiadat orang yang dipimpin, supaya dapat berbuat dengan mengingat “ukur badan sendiri” dan jangan tergesa-gesa, harus terang dan paham terhadap barang yang diterima atau ditolak, serta jangan dengan jalan paksa. Dengan begitu akan dapat menumbuhkan pembicaraan yang enak, menuju keperluan (tujuan) yang amat penting, yaitu manusia bersatu hati.
Sudah menjadi adat kebiasaan orang, bahwa apa yang sudah dipahami dan dikerjakan menurut pengajaran gurunya atau pergaulan teman-temannya dan menurut pikirannya sendiri akan menjadikan gembira dan senang hatinya. Dan hal itu akan dipegang lahir dan batin, lebih-lebih jika hal itu sudah dijalani oleh nenek-moyangnya. Hal itu akan dikira-kira dan dipercaya mendatangkan kebahagiaan. Siapa yang menyalahinya akan mendapat kecelakaan dan kesusahan. Pemimpin-pemimpin dipersilahkan menengok, apakah sikap yang demikian itu hanya ada pada kaum kita, orang Islam, saja? Tidakkah kaum lain, misalnya Budha, Kristen dan Yahudi juga demikian keadaannya?
Pemimpin-pemimpin! Oleh sebab “benar” itu sesungguhnya hanya satu, maka bagaimanakah kita mendapatkan yang “Benar” itu agar tidak mendapatkan kesalahan di hadapan Allah Yang Maha-suci.
Begitu pula telah menjadi kebiasaan orang, mereka segan dan tidak mau menerima apa saja yang kelihatan “baru” yang tidak sama dengan apa yang sudah dijalani. Karena menurut perasaannya barang yang baru itu akan menjadikan celaka dan susah, meskipun sudah jelas dan nyata bahwa orang yang mengerjakan dan menjalani barang “baru” itu misalnya, mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan. Yang demikian itu terkecuali orang yang memang banyak dan senang berpikir dan merasa dengan panjang dan dalam.
Apakah kelakuan seperti tersebut di atas dapat disebut baik atau betul? Sudah tentu tidak, sebab orang yang tersebut di atas itu hanya berhukumkan adat kebiasaan dan adat-istiadat, karena adat-istiadat tidak boleh dijadikan hukum untuk menentukan “baik” dan “tidak baik”, “betul” dan “salah”. Yang dapat dijadikan hukum untuk menentukan betul dan salah, baik dan tidak baik hanya hukum yang sah dan sesuai dengan hati yang suci.
Uraian tersebut di atas harus dipikirkan dan dirasakan dengan sungguh-sungguh secara panjang dan dalam perlunya manusia bersatu-hati, sebab di dalamnya tergantung sesuatu yang amat besar, yaitu bahagia dan celaka. Sebab itu, saya sangat berhasrat hati meminta agar pemimpin-pemimpin itu secara bersama-sama mempersatu-hatikan semua manusia. Sebelum semua manusia bersatu hati, tidakkah wajib pemimpin-pemimpin itu bersatu hati lebih dahulu? Sudah barang tentu wajib dan wajib sungguh.
Marilah, segera kita, pemimpin-pemimpin, berkumpul membicarakan kebenaran (haq) itu tanpa memilih-milih bangsa, semuanya saja. Dan jangan sekal—kali puas atau bosan sehingga kebenaran itu terdapat (diketemukan). Sesudah itu lalu kita berasaskan satu, berpengetahuan satu, dan bertenaga satu rupa. Pendeknya, manusia semuanya harus bersatu hati karena adanya permufakatan dengan memakai hukum (wewaton, Jawa) yang sah dengan hati suci dan tidak jera sehingga semua manusia bersatu-hati.
Apakah yang menyebabkan orang mengabaikan atau menolak kebenaran? Disebabkan karena:
1. Bodoh, ini yang banyak sekali
2. Tidak setuju kepada orang yang ketempatan (membawa) kebenaran
3. Sudah mempunyai kebiasaan sendiri dari nenek moyangnya
4. Khawatir tercerai dengan sanak-saudaranya dan teman-temannya dan
5. Khawatir kalau berkurang atau kehilangan kemuliaan, pangkat, kebesaran, kesenangannya dan sebagainya.
Sedikit peringatan supaya menjadi pemikiran:
1. Orang itu perlu dan harus beragama
2. Agama itu pada mulanya bercahaya, berkilai-kilauan, akan tetapi makin lama makin suram. Padahal yang suram bukan agamanya, akan tetapi manusianya yang memakai agama
3. Orang itu harus menurut aturan dari syarat yang sah dan yang sudah sesuai dengan pikiran yang suci, jangan sampai membuat putusan sendiri.
4. Orang itu harus dan wajib mencari tambahan pengetahuan, jangan sekali-kali merasa cukup dengan pengetahuannya sendiri, apalagi menolak pengetahuan orang lain
5. Orang itu perlu dan wajib menjalankan pengetahuannya yang utama, jangan sampai hanya tinggal pengetahuan saja.
Makhluk Allah
Segala makhluk Allah itu mempunyai kehendak (hajat). Semua kehendak itu mesti ada maksud (tujuan)nya. Dan sampainya (tercapainya) maksud itu pasti dengan jalan.
Sudah nyata bahwa Tuhan Allah telah mengadakan masa (waktu) dan mengadakan jalan untuk menyampaikan (mencapai) segala maksud. Kalau demikian, maka semua maksud (tujuan) makhluk itu pasti tercapai asalkan menurut jalan dan masanya. Sebab segala keadaan itu kehendak Allah, dan Tuhan telah menyediakan segala keadaan yang dimaksud.
ManusiaBahwa sesungguhnya tiada yang lebih dikehendaki oleh manusia itu selain keselamatan dunia dan akhirat.
Adapun jalannya untuk dapat mencapai barang yang dimaksudkan, manusia memakai akal yang waras, artinya akal yang tidak terkena bahaya. Sifat akal yang waras itu ialah akal yang dapat memilih sembarang perkara dengan teliti dengan perhatian dan dengan pertimbangan. Sesudah dipilih lalu ditempatkan dalam keteguhan hati.
AkalWatak akal itu menerima segala pengetahuan dan memang pengetahuan itulah yang menjadi kebutuhan akal, sebab akal itu seperti biji yang terbenam di dalam bumi. Agar biji itu dapt tumbuh menjadi pohon yang besar, tentu perlu disiram secara ajek dan dipenuhi kebutuhan lainnya. Demikian juga akal manusia, niscaya tidak dapat bertambah sampai kepada kesempurnaannya, apabila tidak diberi siraman dengan pengetahuan. Dan semuanya itu mesti sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Kuasa.
Pendidikan Akal
Sehabis-habisnya pendidikan akal ialah dengan Ilmu Manthiq (Pembicaraan yang cocok dengan kenyataan), semua ilmu pembicaraan harus dengan belajar, sebab tidak ada manusia yang mengetahui berbagai nama dan bahasa, tanpa ada yang mengajarnya. Demikian juga yang mengajar itu dapat mengerti dari guru-gurunya, dan demikian seterusnya.
Maka dari itu, hal di atas menunjukkan bahwa manusia tidak berdaya mengetahui asal pengetahuan kecuali orang yang mendapat petunjuk dari Tuhan Yang Mengetahui dan Bijaksana.
Adapun manusia yang bisa lebih dari pokoknya pengajaran sesungguhnya hanya sebagaimana orang yang menemukan lebarnya lobang cincin, lalu mendapatkan berlian, lalu menemukan berlian dengan lobangnya dan menjadi pakaian yang ‘peni’. Demikian juga bagi orang yang bisa berbicara dengan tajam dan tepat, hal itu hanyalah sanggul-bersanggulnya pengetahuan-pengetahuan lainnya.
Jadi orang yang bisa berbuat demikian itu sesungguhnya tidak mengherankan. Akan tetapi jika ada orang yang dapat menerima pembicaraan yang baik yang datang dari orang lain lalu senang membicarakannya dengan orang-orang lain, sesungguhnya hal yang demikian itu bukan orang yang lemah walaupun orang itu tidak dapat menambah sebab tidak ada suatu perbuatan yang lebih baik daripada menghidup-hidupkan perkataan orang yang bijaksana.
Kesempurnaan Akal
Untuk hidupnya akal yang sempurna dan agar dapat tetap sebagai akal harus terkumpul enam perkara:
Pertama, memilih berbagai perkara harus dengan belas kasihan. Manusia tidak akan sampai kepada keutamaan apabila tidak mempunyai beas kasihan, sebab watak orang yang tidak mempunyai belas kasihan itu segala perbuatan yang dilakukannya karena kesenangan yang akhirnya bosan dan terus sia-sia.
Kedua, harus bersungguh-sungguh mencari, sebab keutamaan dunia dan akhirat itu tidak akan dapat tercapai apabila tidak dicari dengan daya upaya dan ikhtiar, dengan pengorbanan harta-benda, kekuatan dan pikiran.
Ketiga, harus dengan terang benderang dalam memilihnya, sebab adanya suatu petunjuk itu kebersamaan dengan adanya kesesatan (penasaran) dan barang yang baik itu pasti berpasangan dengan yang buruk. Oleh karena itu, kebanyakan orang yang mencari barang yang dikehendaki, akhirnya mendapatkan barang yang mestinya ditolak, sebab dalam mencarinya, ia hanya ikut-ikutan dan tidak mengetahui kenyataannya atau hanya karena adat-istiadat saja.
Keempat, harus mengi’tikadkan kebaikan barang yang dipilih, agar tetap teguh dalam hati, yang akhirnya bisa benar dan betul dan tetap pekerjaannya.
Kelima, harus baik dalam memeliharanya. Artinya, sesudah mendapatkan barang yang dicari, harus dipelihara dengan baik, sebab sifat manusia itu, tidak jauh dari lupa dan lena.
Keenam, harus dapat menempatkan. Artinya, segala pengetahuan itu tidak bisa menjadi manfaat apabila tidak diperbuat yang sementara.
Kebutuhan Manusia
Semua manusia pasti mempunyai kebutuhan, sebab hidup manusia di dunia tidak ditempatkan di atas tempat kaya dan hina, akan tetapi manusia dihidupkan di tempat kebutuhan dan kepayahan. Oleh karena itu, manusia haruys mengerti benar akan tempat kebutuhannya.
Sesungguhnya pengajaran yang berguna dalam mengisi akal itu lebih dibutuhkan oleh manusia daripada makanan yang mengisi perutnya, sebab pengajaran tu lebih cepat menambah besarnya akal daripada makanan yang membesarkan badan. Dan mencari harta benda dunia itu tidak lebih payah dari mencari pengetahuan yang berguna dalam memperbaiki perbuatan dan kelakuan, Sebab apabila dipikir dan diteliti, manusia itu banyak yang hanya ngawur (membuta-tuli) daripada yang memang setiti, hati-hati dan mengerti. Dan orang yang mengerti itu lebih banyak daripada orang yang menjalankan pengertiannya. Maka dari itu orang yang mempunyai akal yang sempurna, harus melihat dan meneliti dirinya sendiri di manakah dirinya sendiri itu.
Orang yang Mempunyai Akal
Akal manusia itu kalau terperosok dalam bahaya sesungguhnya sudah mempunyai bagian hati suci, yaitu mempunyai dasar tidak suka dan cinta pada keluhuran dunia. Oleh karena itu, orang yang mempunyai akal harus menjaga dari bahaya yang merusak kesucian hati.
Tidak ada yang berguna tingkatnya pangkat budiman, kecuali hati yang suci. Dan tidak ada manusia yang dapt meraih keluhuran dunia dan akhirat, melainkan orang yang mempunyai sifat budiman. Oleh karena itu, barangsiap ingin mengejar menjadi orang yang berpangkat budiman, hendaklah menyediakan dirinya kepada jalannya budiman, yaitu tahan dan kuat mengalahkan hawa nafsunya. Sebab watak orang yang senantiasa mengalahkan hawa nafsunya itu tentu tidak lengah akan perkara keluhuran dunia yang bisa menyambung kepada keluhuran aklhirat, dan segala usaha dan perbuatannya itu dikerjakan dengan keteguhan hati dan tidak dikalahkan oleh pembicaraan dan kehendak supaya mendapatkan yang enak dan kesenangan dirinya sendiri.
Oleh karena itu, sudahlah nyata bagi orang yang menginginkan dan menghendaki keluhuran dunia dan akhirat, bahwa tidaklah pantas apabila perbuatannya dikerjakan dengan segampangnya saja dan atau iri hati. Berbeda sekali dengan yang mempunyai tujuan keluhuran hanya di dalam dunia. Barangkali bisa terdapat usaha dan pekerjaan yang sedang dikerjakan segampangnya dan seenaknya saja, malah yang sebagian banyak dapat berhasil dengan pendapatnya sendiri saja.
Perbedaan Pintar dengan Bodoh
Kata pintar dan bodoh itu ialah suatu bahasa yang artinya berbeda sebaliknya , akan tetapi sebagian banyak manusia itu sama saja antara yang pintar dengan yang bodoh, yakni senang kepada barang yang disetujui dan sengit kepada barang yang tidak disetujui. Lagi pula dalam beberapa hal yang diputuskan oleh yang pintar dan pandai itu bisa juga diputuskan oleh orang yang bodoh. Oleh karena itu, orang yang mempunyai akal yang sempurna harus mengerti perbedaan antara yang pintar dan yang bodoh.
Sesungguhnya perbedaan antara yang pintar dan yang bodoh itu akan terlihat berkumpul antara yang benar dan yang salah. Di situlah akan terlihat kemantapan orang pintar dan goyahnya orang yang bodoh.
Adapun perbedaan pintar dan bodoh itu ada tiga. Antara lain, orang yang pintar itu pasti mengerti barang yang akan menjadikan senang dan susah, orang yang bodoh tidak mengerti.
Orang yang pintar itu sudah barang tentu sewaktu-waktu berikhtiar mencari jalan yang menuju kepada kesenangan dan menyingkir dari lingkungan yang akan menuju kepada kesusahan yang akan diderita. Akan tetapi orang yang pintar yang melalaikan petunjuk Tuhan Allah, tidak takut kepadaNya, dan menuruti ajakan nafsu dengan pelan-pelan ia akan terjerumus ke lingkungan kesusahan karena kealpaannya.
*) Tali Pengikat Hidup Manusia merupakan pemikiran KHA Dahlan semasa hidupnya, dimuat dalam Album Muhammadiyah Tahun 1923, diterbitkan oleh Hoofd Bestuur Moehammadijah bg Taman Poestaka, Djokjakarta. Tulisan di atas ini dikutip dari buku Perkembangan Pemikiran Muhammadiyah dari Masa ke Masa, 1985, Sukrianta AR & Abdul Munir Munir Malkhan (penyunting), PT Dua Dimensi Yogyakarta.
http://kurzman.unc.edu/modernist-islam/
http://kurzman.unc.edu/files/2011/06/Dachlan.pdf
Related article:
Muhammadiyah dan Keindonesiaan
TALI PENGIKAT HIDUP MANUSIA
Ahmad Dahlan
Tali pengikat hidup manusia adalah suatu pengetahuan yang terlalu amat besar bagi kemanusiaan umumnya, sehingga memenuhi bumi. Oleh karena itu, Tuan-tuan Pembaca diharap mau memikirkan benar-benar dan mengingat-ingat dan jangan tergesa-gesa.
Untuk memimpin suatu kehidupan itu seharusnya dan sepatutnya memakai suatu alat, yaitu Al-Qur’an. Bukankah manusia itu perlu bersatu hati karena beberapa sebab?
Pertama, Sebab manusia, bangsa apa saja, sesungguhnya nenek-moyangnya satu, yaitu Nabi Adam dan Ibu Hawa. Jadi, semua manusia itu satu daging dan satu darah. Kedua, supaya semua manusia dapat hidup senang bersama-sama di dunia. Jika manusia lalai akan tali pengikat ini, maka akan rusak dan merusakkan. Ini suatu kenyataan yang tidak boleh dipungkiri lagi.
Pikirkanlah pemimpin-pemimpin! Sejak Rasul-rasul (Utusan-utusan), sahabat-sahabatnya dan pemimpin kemajuan Islam pada jaman dahulu hingga sekarang, sudah sementara lama pemimpin-pemimpin itu bekerja. Mereka itu orang yang ternama, sebagian sudah mendapat pengajaran di perguruan tinggi. Walau begitu, belum dapat mereka bersatu hati.
Jangan pemimpin-pemimpin terkejut, lihatlah kanan-kiri, di muka dan di belakang dengan baik, bukankah masih tidak karuan? Ingatlah, saya tidak hanya memandang satu bangsa saja, akan tetapi semua bangsa manusia. Meskipun kita melihat hanya satu bangsa belum juga satu hati. Hal itu sesungguhnya tidak enak, akan tetapi lawannya (enak) yakni berbahaya. Apakah sebabnya begitu?
Pertama, kami pemimpin-pemimpin, belum bersatu hati, yang satu mengabaikan yang lain, tolak-menolak pengetahuan, padahal pengetahuan-pengetahuan itu perlu bagi manusia. Jadi, sudah tentu pengetahuan pemimpin-pemimpin itu kurang. Kurangnya pengetahuan itu menjadikan pendek-pikiran (cupet ing pamanggih, Jawa). Jadi, sesungguhnya pemimpin-pemimpin itu masih meraba-raba pada kegelapan. Apakah jadinya? Lalu tumbuh perbantahan antara pemimpin-pemimpin itu (rusak).
Kedua, pemimpin-pemimpin belum memimpin dengan tenaga atau tindakan (lampahlampah, Jawa). Kebanyakan masih memimpin dengan suara saja. Sesungguhnya mereka baru mencari pengertian dan menaburkan pengertian itu kepada orang banyak, belum memperhatikan tindakan (mrihatosaken lampah, Jawa) bagi dirinya sendiri dan orang banyak. Jadi, pemimpin-pemimpin itu sebagian besar baru memerlukan suara agar supaya kelihatan pendapat baiknya walaupun kelakuannya sendiri masih mengecewakan, yakni rusak dan merusakkan.
Terangnya, pemimpin-pemimpin itu banyak yang dipermainkan hawa nafsunya sendiri tanpa mengerti dan merasa. Misalnya, hawa nafsu mengajak malas dan kikir jika untuk suatu keperluan dan tidak malas dan kikir jika untuk suatu kesenangan. Begitulah hawa nafsu itu mempermainkannya, sehingga hawa nafsu itu menyesatkan kepada penipuan, kebohongan, main gila dan sebagainya. Bukankah hal itu rusak dan merusakkan?
Ketiga, kebanyakan pemimpin-pemimpin belum mempunyai tujuan untuk baik dan enaknya semua manusia. Mereka baru mementingkan kaumnya (golongannya) sendiri, lebih-lebih lagi ada yang hanya mementingkan badannya sendiri, kaumnya pun tidak dipedulikan. Maka, jika badannya sendiri sudah mendapat kesenangan, pada perasaannya sudah berpahala, dan sudah sampai maksudnya. Hal yang demikian itu sudah banyak yang diketahui (cacatnya) sehingga perkumpulan menjadi rusak dan menyebabkan cerai-berainya yang dipimpin; kembali mereka seperti keadaannya sebelum dipimpin, kemudian hati mereka meradang dan jera.
Jalan PersatuanPemimpin-pemimpin harus tahu benar kelakuan, keadaan dan adat-istiadat orang yang dipimpin, supaya dapat berbuat dengan mengingat “ukur badan sendiri” dan jangan tergesa-gesa, harus terang dan paham terhadap barang yang diterima atau ditolak, serta jangan dengan jalan paksa. Dengan begitu akan dapat menumbuhkan pembicaraan yang enak, menuju keperluan (tujuan) yang amat penting, yaitu manusia bersatu hati.
Sudah menjadi adat kebiasaan orang, bahwa apa yang sudah dipahami dan dikerjakan menurut pengajaran gurunya atau pergaulan teman-temannya dan menurut pikirannya sendiri akan menjadikan gembira dan senang hatinya. Dan hal itu akan dipegang lahir dan batin, lebih-lebih jika hal itu sudah dijalani oleh nenek-moyangnya. Hal itu akan dikira-kira dan dipercaya mendatangkan kebahagiaan. Siapa yang menyalahinya akan mendapat kecelakaan dan kesusahan. Pemimpin-pemimpin dipersilahkan menengok, apakah sikap yang demikian itu hanya ada pada kaum kita, orang Islam, saja? Tidakkah kaum lain, misalnya Budha, Kristen dan Yahudi juga demikian keadaannya?
Pemimpin-pemimpin! Oleh sebab “benar” itu sesungguhnya hanya satu, maka bagaimanakah kita mendapatkan yang “Benar” itu agar tidak mendapatkan kesalahan di hadapan Allah Yang Maha-suci.
Begitu pula telah menjadi kebiasaan orang, mereka segan dan tidak mau menerima apa saja yang kelihatan “baru” yang tidak sama dengan apa yang sudah dijalani. Karena menurut perasaannya barang yang baru itu akan menjadikan celaka dan susah, meskipun sudah jelas dan nyata bahwa orang yang mengerjakan dan menjalani barang “baru” itu misalnya, mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan. Yang demikian itu terkecuali orang yang memang banyak dan senang berpikir dan merasa dengan panjang dan dalam.
Apakah kelakuan seperti tersebut di atas dapat disebut baik atau betul? Sudah tentu tidak, sebab orang yang tersebut di atas itu hanya berhukumkan adat kebiasaan dan adat-istiadat, karena adat-istiadat tidak boleh dijadikan hukum untuk menentukan “baik” dan “tidak baik”, “betul” dan “salah”. Yang dapat dijadikan hukum untuk menentukan betul dan salah, baik dan tidak baik hanya hukum yang sah dan sesuai dengan hati yang suci.
Uraian tersebut di atas harus dipikirkan dan dirasakan dengan sungguh-sungguh secara panjang dan dalam perlunya manusia bersatu-hati, sebab di dalamnya tergantung sesuatu yang amat besar, yaitu bahagia dan celaka. Sebab itu, saya sangat berhasrat hati meminta agar pemimpin-pemimpin itu secara bersama-sama mempersatu-hatikan semua manusia. Sebelum semua manusia bersatu hati, tidakkah wajib pemimpin-pemimpin itu bersatu hati lebih dahulu? Sudah barang tentu wajib dan wajib sungguh.
Marilah, segera kita, pemimpin-pemimpin, berkumpul membicarakan kebenaran (haq) itu tanpa memilih-milih bangsa, semuanya saja. Dan jangan sekal—kali puas atau bosan sehingga kebenaran itu terdapat (diketemukan). Sesudah itu lalu kita berasaskan satu, berpengetahuan satu, dan bertenaga satu rupa. Pendeknya, manusia semuanya harus bersatu hati karena adanya permufakatan dengan memakai hukum (wewaton, Jawa) yang sah dengan hati suci dan tidak jera sehingga semua manusia bersatu-hati.
Apakah yang menyebabkan orang mengabaikan atau menolak kebenaran? Disebabkan karena:
1. Bodoh, ini yang banyak sekali
2. Tidak setuju kepada orang yang ketempatan (membawa) kebenaran
3. Sudah mempunyai kebiasaan sendiri dari nenek moyangnya
4. Khawatir tercerai dengan sanak-saudaranya dan teman-temannya dan
5. Khawatir kalau berkurang atau kehilangan kemuliaan, pangkat, kebesaran, kesenangannya dan sebagainya.
Sedikit peringatan supaya menjadi pemikiran:
1. Orang itu perlu dan harus beragama
2. Agama itu pada mulanya bercahaya, berkilai-kilauan, akan tetapi makin lama makin suram. Padahal yang suram bukan agamanya, akan tetapi manusianya yang memakai agama
3. Orang itu harus menurut aturan dari syarat yang sah dan yang sudah sesuai dengan pikiran yang suci, jangan sampai membuat putusan sendiri.
4. Orang itu harus dan wajib mencari tambahan pengetahuan, jangan sekali-kali merasa cukup dengan pengetahuannya sendiri, apalagi menolak pengetahuan orang lain
5. Orang itu perlu dan wajib menjalankan pengetahuannya yang utama, jangan sampai hanya tinggal pengetahuan saja.
Makhluk Allah
Segala makhluk Allah itu mempunyai kehendak (hajat). Semua kehendak itu mesti ada maksud (tujuan)nya. Dan sampainya (tercapainya) maksud itu pasti dengan jalan.
Sudah nyata bahwa Tuhan Allah telah mengadakan masa (waktu) dan mengadakan jalan untuk menyampaikan (mencapai) segala maksud. Kalau demikian, maka semua maksud (tujuan) makhluk itu pasti tercapai asalkan menurut jalan dan masanya. Sebab segala keadaan itu kehendak Allah, dan Tuhan telah menyediakan segala keadaan yang dimaksud.
ManusiaBahwa sesungguhnya tiada yang lebih dikehendaki oleh manusia itu selain keselamatan dunia dan akhirat.
Adapun jalannya untuk dapat mencapai barang yang dimaksudkan, manusia memakai akal yang waras, artinya akal yang tidak terkena bahaya. Sifat akal yang waras itu ialah akal yang dapat memilih sembarang perkara dengan teliti dengan perhatian dan dengan pertimbangan. Sesudah dipilih lalu ditempatkan dalam keteguhan hati.
AkalWatak akal itu menerima segala pengetahuan dan memang pengetahuan itulah yang menjadi kebutuhan akal, sebab akal itu seperti biji yang terbenam di dalam bumi. Agar biji itu dapt tumbuh menjadi pohon yang besar, tentu perlu disiram secara ajek dan dipenuhi kebutuhan lainnya. Demikian juga akal manusia, niscaya tidak dapat bertambah sampai kepada kesempurnaannya, apabila tidak diberi siraman dengan pengetahuan. Dan semuanya itu mesti sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Kuasa.
Pendidikan Akal
Sehabis-habisnya pendidikan akal ialah dengan Ilmu Manthiq (Pembicaraan yang cocok dengan kenyataan), semua ilmu pembicaraan harus dengan belajar, sebab tidak ada manusia yang mengetahui berbagai nama dan bahasa, tanpa ada yang mengajarnya. Demikian juga yang mengajar itu dapat mengerti dari guru-gurunya, dan demikian seterusnya.
Maka dari itu, hal di atas menunjukkan bahwa manusia tidak berdaya mengetahui asal pengetahuan kecuali orang yang mendapat petunjuk dari Tuhan Yang Mengetahui dan Bijaksana.
Adapun manusia yang bisa lebih dari pokoknya pengajaran sesungguhnya hanya sebagaimana orang yang menemukan lebarnya lobang cincin, lalu mendapatkan berlian, lalu menemukan berlian dengan lobangnya dan menjadi pakaian yang ‘peni’. Demikian juga bagi orang yang bisa berbicara dengan tajam dan tepat, hal itu hanyalah sanggul-bersanggulnya pengetahuan-pengetahuan lainnya.
Jadi orang yang bisa berbuat demikian itu sesungguhnya tidak mengherankan. Akan tetapi jika ada orang yang dapat menerima pembicaraan yang baik yang datang dari orang lain lalu senang membicarakannya dengan orang-orang lain, sesungguhnya hal yang demikian itu bukan orang yang lemah walaupun orang itu tidak dapat menambah sebab tidak ada suatu perbuatan yang lebih baik daripada menghidup-hidupkan perkataan orang yang bijaksana.
Kesempurnaan Akal
Untuk hidupnya akal yang sempurna dan agar dapat tetap sebagai akal harus terkumpul enam perkara:
Pertama, memilih berbagai perkara harus dengan belas kasihan. Manusia tidak akan sampai kepada keutamaan apabila tidak mempunyai beas kasihan, sebab watak orang yang tidak mempunyai belas kasihan itu segala perbuatan yang dilakukannya karena kesenangan yang akhirnya bosan dan terus sia-sia.
Kedua, harus bersungguh-sungguh mencari, sebab keutamaan dunia dan akhirat itu tidak akan dapat tercapai apabila tidak dicari dengan daya upaya dan ikhtiar, dengan pengorbanan harta-benda, kekuatan dan pikiran.
Ketiga, harus dengan terang benderang dalam memilihnya, sebab adanya suatu petunjuk itu kebersamaan dengan adanya kesesatan (penasaran) dan barang yang baik itu pasti berpasangan dengan yang buruk. Oleh karena itu, kebanyakan orang yang mencari barang yang dikehendaki, akhirnya mendapatkan barang yang mestinya ditolak, sebab dalam mencarinya, ia hanya ikut-ikutan dan tidak mengetahui kenyataannya atau hanya karena adat-istiadat saja.
Keempat, harus mengi’tikadkan kebaikan barang yang dipilih, agar tetap teguh dalam hati, yang akhirnya bisa benar dan betul dan tetap pekerjaannya.
Kelima, harus baik dalam memeliharanya. Artinya, sesudah mendapatkan barang yang dicari, harus dipelihara dengan baik, sebab sifat manusia itu, tidak jauh dari lupa dan lena.
Keenam, harus dapat menempatkan. Artinya, segala pengetahuan itu tidak bisa menjadi manfaat apabila tidak diperbuat yang sementara.
Kebutuhan Manusia
Semua manusia pasti mempunyai kebutuhan, sebab hidup manusia di dunia tidak ditempatkan di atas tempat kaya dan hina, akan tetapi manusia dihidupkan di tempat kebutuhan dan kepayahan. Oleh karena itu, manusia haruys mengerti benar akan tempat kebutuhannya.
Sesungguhnya pengajaran yang berguna dalam mengisi akal itu lebih dibutuhkan oleh manusia daripada makanan yang mengisi perutnya, sebab pengajaran tu lebih cepat menambah besarnya akal daripada makanan yang membesarkan badan. Dan mencari harta benda dunia itu tidak lebih payah dari mencari pengetahuan yang berguna dalam memperbaiki perbuatan dan kelakuan, Sebab apabila dipikir dan diteliti, manusia itu banyak yang hanya ngawur (membuta-tuli) daripada yang memang setiti, hati-hati dan mengerti. Dan orang yang mengerti itu lebih banyak daripada orang yang menjalankan pengertiannya. Maka dari itu orang yang mempunyai akal yang sempurna, harus melihat dan meneliti dirinya sendiri di manakah dirinya sendiri itu.
Orang yang Mempunyai Akal
Akal manusia itu kalau terperosok dalam bahaya sesungguhnya sudah mempunyai bagian hati suci, yaitu mempunyai dasar tidak suka dan cinta pada keluhuran dunia. Oleh karena itu, orang yang mempunyai akal harus menjaga dari bahaya yang merusak kesucian hati.
Tidak ada yang berguna tingkatnya pangkat budiman, kecuali hati yang suci. Dan tidak ada manusia yang dapt meraih keluhuran dunia dan akhirat, melainkan orang yang mempunyai sifat budiman. Oleh karena itu, barangsiap ingin mengejar menjadi orang yang berpangkat budiman, hendaklah menyediakan dirinya kepada jalannya budiman, yaitu tahan dan kuat mengalahkan hawa nafsunya. Sebab watak orang yang senantiasa mengalahkan hawa nafsunya itu tentu tidak lengah akan perkara keluhuran dunia yang bisa menyambung kepada keluhuran aklhirat, dan segala usaha dan perbuatannya itu dikerjakan dengan keteguhan hati dan tidak dikalahkan oleh pembicaraan dan kehendak supaya mendapatkan yang enak dan kesenangan dirinya sendiri.
Oleh karena itu, sudahlah nyata bagi orang yang menginginkan dan menghendaki keluhuran dunia dan akhirat, bahwa tidaklah pantas apabila perbuatannya dikerjakan dengan segampangnya saja dan atau iri hati. Berbeda sekali dengan yang mempunyai tujuan keluhuran hanya di dalam dunia. Barangkali bisa terdapat usaha dan pekerjaan yang sedang dikerjakan segampangnya dan seenaknya saja, malah yang sebagian banyak dapat berhasil dengan pendapatnya sendiri saja.
Perbedaan Pintar dengan Bodoh
Kata pintar dan bodoh itu ialah suatu bahasa yang artinya berbeda sebaliknya , akan tetapi sebagian banyak manusia itu sama saja antara yang pintar dengan yang bodoh, yakni senang kepada barang yang disetujui dan sengit kepada barang yang tidak disetujui. Lagi pula dalam beberapa hal yang diputuskan oleh yang pintar dan pandai itu bisa juga diputuskan oleh orang yang bodoh. Oleh karena itu, orang yang mempunyai akal yang sempurna harus mengerti perbedaan antara yang pintar dan yang bodoh.
Sesungguhnya perbedaan antara yang pintar dan yang bodoh itu akan terlihat berkumpul antara yang benar dan yang salah. Di situlah akan terlihat kemantapan orang pintar dan goyahnya orang yang bodoh.
Adapun perbedaan pintar dan bodoh itu ada tiga. Antara lain, orang yang pintar itu pasti mengerti barang yang akan menjadikan senang dan susah, orang yang bodoh tidak mengerti.
Orang yang pintar itu sudah barang tentu sewaktu-waktu berikhtiar mencari jalan yang menuju kepada kesenangan dan menyingkir dari lingkungan yang akan menuju kepada kesusahan yang akan diderita. Akan tetapi orang yang pintar yang melalaikan petunjuk Tuhan Allah, tidak takut kepadaNya, dan menuruti ajakan nafsu dengan pelan-pelan ia akan terjerumus ke lingkungan kesusahan karena kealpaannya.
*) Tali Pengikat Hidup Manusia merupakan pemikiran KHA Dahlan semasa hidupnya, dimuat dalam Album Muhammadiyah Tahun 1923, diterbitkan oleh Hoofd Bestuur Moehammadijah bg Taman Poestaka, Djokjakarta. Tulisan di atas ini dikutip dari buku Perkembangan Pemikiran Muhammadiyah dari Masa ke Masa, 1985, Sukrianta AR & Abdul Munir Munir Malkhan (penyunting), PT Dua Dimensi Yogyakarta.
http://kurzman.unc.edu/modernist-islam/
http://kurzman.unc.edu/files/2011/06/Dachlan.pdf
Related article:
Muhammadiyah dan Keindonesiaan
Komentar
Posting Komentar